JAKARTA – Tim Advokasi korban kebakaran Lapas Kelas I Tangerang, Banten, menemukan tujuh poin penting dalam tragedi yang menewaskan 49 narapidana tersebut.

Tim menemukan tujuh poin penting dari pengakuan keluarga korban.

Baca Juga : 25 Saksi Kebakaran Lapas Tangerang Telah Diperiksa

Pertama, ketidakjelasan proses identifikasi tubuh korban yang meninggal dunia dikarenakan tidak transparan, bahkan sampai korban dimakamkan tidak ada informasi jelas yang diterima oleh ahli waris.

“Jadi apa dasar identifikasi korban tersebut bisa teridentifikasi,” kata Perwakilan Tim Advokasi Korban Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang Ma’ruf Banjammal di Jakarta, Kamis.

Poin kedua, penyerahan jenazah korban meninggal dunia dilakukan tidak terbuka dikarenakan pihak keluarga ingin melihat namun petugas tidak memperlihatkan.

Tim juga menilai peti jenazah korban yang tidak layak karena terbuat dari triplek.

“Menurut keluarga korban peti tersebut tidak layak menjadi peti jenazah,” katanya.

Bahkan ada keluarga yang terpaksa membeli sendiri peti jenazah karena menilai yang disediakan pemerintah tidak layak untuk pemakaman anggota keluarganya.

Empat, adanya indikasi intimidasi saat ahli waris menandatangani surat administrasi pengambilan jenazah korban karena diminta secepatnya menyelesaikan.

“Atas dasar itu kami melihat adanya upaya intimidasi saat proses penandatanganan penyerahan jenazah,” ujar dia.

Kelima, upaya pembungkaman agar para keluarga korban tidak menuntut pihak manapun diperkuat melalui sepucuk surat yang harus ditandatangani ahli waris.

Keenam, tidak ada pendampingan psikologis berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pasca penyerahanan jenazah yang mengakibatkan keluarga korban merasa trauma ketika mendengar kata bakar.

Terakhir, pemberian uang dka senilai Rp30 juta dinilai sama sekali tidak cukup.

“Uang tersebut hanya habis untuk penghiburan atau kegiatan berdoa keluarga korban saja. Bahkan, ada yang terpaksa menomboki untuk kegiatan pascapemakaman,” ujarnya.