Amnesty: Putusan Praperadilan Delpedro dkk Normalisasi Pembungkaman Aktivis
JAKARTA, RAKYAT NEWS – Amnesty International Indonesia menilai putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang menolak gugatan praperadilan empat aktivis merupakan bentuk kemunduran serius bagi kebebasan berekspresi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut hakim praperadilan gagal menimbang secara adil bukti dan pelanggaran prosedur yang diajukan oleh para pemohon.
“Putusan ini dapat menormalisasi pembungkaman kebebasan berekspresi. Hakim seharusnya menjadi pengawas terakhir atas proses hukum yang menyalahi asas peradilan yang adil,” ujar Usman dalam keterangan tertulis, Senin (27/10).
Usman menegaskan, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) telah mengungkap sejumlah pelanggaran serius oleh kepolisian, mulai dari penetapan tersangka tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka—bertentangan dengan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014—hingga penyitaan barang tanpa izin pengadilan.
“Fakta-fakta ini seharusnya cukup bagi hakim untuk mengoreksi tindakan polisi. Namun yang terjadi justru sebaliknya: hakim memperkuat pengabaian prinsip due process of law,” tambahnya.
Amnesty menilai penolakan gugatan praperadilan ini memperlihatkan tren represi negara terhadap aktivis yang bersuara secara damai.
“Jika praktik semacam ini dibiarkan, Indonesia akan semakin menjauh dari prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi HAM,” kata Usman. “Negara seharusnya melindungi warga yang mengkritik, bukan menjadikannya musuh yang harus dipenjara.”
Amnesty juga mendesak Polda Metro Jaya untuk menghentikan proses hukum terhadap seluruh aktivis yang ditangkap setelah aksi unjuk rasa akhir Agustus lalu.
Dalam sidang yang digelar Senin pagi hingga siang, majelis hakim PN Jakarta Selatan menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan empat aktivis: Delpedro Marhaen dan Muzaffar Salim (Lokataru Foundation), Syahdan Husein (Gejayan Memanggil), dan Khariq Anhar (Aliansi Mahasiswa Penggugat, Riau).
Sidang sempat diwarnai kericuhan saat petugas keamanan melarang pengunjung membentangkan poster dukungan bagi para aktivis. Seorang polisi bahkan terlihat merebut dan melempar poster sambil berteriak, “Ambil, ambil!” yang memicu protes dari pengunjung.
Keempat aktivis kini tetap berstatus tersangka dalam kasus dugaan penghasutan terkait aksi unjuk rasa Agustus 2025 dan akan menjalani proses hukum lanjutan. Mereka dijerat dengan Pasal 160 KUHP, Pasal 45A ayat (3) jo. Pasal 28 ayat (3) UU ITE, serta Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Perlindungan Anak.
Amnesty mencatat, mereka adalah bagian dari 12 aktivis yang ditahan polisi pasca-demo yang berujung bentrok di Jakarta pada akhir Agustus lalu. (Uki)


Tinggalkan Balasan Batalkan balasan