MAKASSAR – Durkheim banyak menginspirasi sosiolog lainnya. Di antaranya Maurice Halbwachs, mempopulerkan konsep memori kolektif. Memori kolektif menggunakan masa kini untuk merekonstruksi secara sosial mengenai masa lalu. Konsep ini juga mengindikasikan betapa konteks sosial selalu hadir dan dihadirkan. Sebagai penanda dalam segala aktivitas manusia. Baik yang tersimpan dalam benak personal maupun yang dibagi dengan orang lain sebagai tindakan.

Baca Juga : Sembilan Elemen Jurnalisme

Konsepsi fakta sosial Durkheim juga dimanfaatkan G. Herbert Mead untuk mewarnai pandangan interaksi simboliknya. Meski Mead lebih dikenal sebagai sosiolog interpretif. Interaksi sosial bukanlah respon langsung seseorang terhadap dunia eksternalnya. Sebelum bertindak, telah menggunakan interpretasi subjektifnya akan objek-objek yang dihadapi. Mendeteksi simbol dan memberinya makna. Menggunakan perjalanan personalnya dalam pergumulan “diri” dan “masyarakat” sebagai jaminan bahwa bukan cuma “saya” yang menganggapnya begitu, tetapi juga lainnya. “Aku” belajar dari mereka begitu banyak hal. Mereka menggunakanku dan peroleh mungkin sedikit hal. Tetapi “Kami” berdialektik.

Memori Kolektif dan Refleksi Pahlawan
Memori Kolektif dan Refleksi Pahlawan

Memori kolektif diproduksi latar sosial. Melalui interaksi dan proses komunikasi. Bahwa ke”saya”an biologis dan psikologis melebur dalam ke”akuan” sosial. Dalam bahasa Freud, super ego batasannya. Kontrol yang didasarkan atas ikatan “aku” dan “Kau”, bukan mereka. “Kau” yang aktual dan “aku” yang sadar. Saat semuanya digiring dalam irama setara, “Kau” dan “aku” mewujud “Kita”. Apa yang “Kau” ingat dan yang “aku” ingat tak lagi beda. Hanya saja, C. Horton Cooley mengakui dalam ruang sempit “aku”, ada “Aku” sebagai subjek dan menjadi refleksi bagi “Daku” sebagai objek.

Rangkulan ingatan mendesak mundur sang aktor personal. Menghapus jejak kepemilikan dan kedirian. Jadilah me-masa, jadilah me-sama. Ke masa depan kita menuju, kini berada, dan lalu beranjak. Ontologi memori telah berlalu. Epistemologi memori ambigu. Perspektif memori disimplifikasi. Aksiologi memori direkayasa. Kreativitas menghadirkan kembali, objek dan nilai. Semacam revitalisasi dan yang baru. Bukan hanya karena ‘because motif’ tetapi juga ‘in order to motive’ kata Schutz.

Baca Juga : Buku “Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan”

Para aktor jamak bicara dan tak lagi jamak membaca. Bicara memberi, membaca menerima. Bicara bertingkah, membaca mendengar. Semio terpeleset dari tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Sang aktor harus sadar. Keluarga perlu cermin. Lapangan sosial butuh teladan. Negara inginkan figur. Semakin luas, semakin longgar, semakin jauh. Tetapi semakin bisa diterima. Urusan pahlawan bukan menerima. Pahlawan memberi.