MAKASSAR – Presidential Threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem Presidensil dan demokrasi. Namun, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai kondisi yang ada justru sebaliknya, memperlemah.

Hal tersebut disampaikan dalam FGD ‘Presidential Threshold dan Oligarki Pemecah Bangsa’ di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Selasa (16/11/2021).

Baca Juga : Sikap Kritis Mahasiswa Dibungkam, Iklim Demokrasi Terancam

Baca Juga : Manfaatkan Media Sosial untuk Memperkuat Demokrasi dan Berbagi Pengetahuan

“Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensil, agar presiden terpilih punya dukungan kuat di parlemen, justru secara teori dan praktik, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah,” ujarnya.

Dijelaskan LaNyalla, partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Sehingga yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan partai politik melalui fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah.

“Termasuk secepat kilat menyetujui apapun kebijakan pemerintah. Juga pengesahan Perppu atau Calon-Calon Pejabat Negara yang dikehendaki pemerintah,” tambahnya.

Makanya jika ditimbang dari sisi manfaat dan mudarat-nya, Presidential Threshold penuh dengan mudarat. Karena Ambang Batas pencalonan presiden menyumbang polarisasi tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, dimana hanya ada 2 pasang calon yang head to head.

“Bagaimana kita melihat pembelahan yang terjadi di masyarakat. Antar kelompok berseteru dan selalu melakukan Anti-Thesa atas output pesan yang dihasilkan baik dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi,” paparnya.

Bagaimana bangsa ini disuguhi kegaduhan nasional. Sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Belum lagi tradisi bar-bar seperti sweeping bendera, sweeping forum diskusi dan lain-lain, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi.