By Suf Kasman

Sungguh, roda zaman begitu kencang berputar. Gelindingan cakranya melaju permanen tanpa henti―berpadu butala bumi―terus berotasi tanpa jeda. Waktu akan terbuang sia-sia bagi se-siapa yang hanya menanti dan menanti sebuah penantian ala fatamorgana.

Waktu demi waktu kian berganti. Dari hari berpindah menjadi minggu. Minggu berotasi membentuk bulan. Bulan beranjak menjelma tahun. Tahun beringsut ke warsa berikutnya, dan selanjutnya, hingga seterusnya.

Lalu,
Kemudian,
Gangkanna Lettu’ Cappa’na…!

Gagasan tentang serial waktu telah diulas jutaan umat manusia, sepanjang sejarah kemanusiaan. Masalahnya adalah apakah waktu itu ‘manusia mutlak mengikut’ atau ‘waktulah yang mengikuti kemauan manusia’?

Setiap orang memiliki waktu yang sama, dan mempertuan zona waktunya masing-masing. Para nabi & Rasul terdahulu punya waktu 24 jam dalam sehari semalam.

Namun, sukses menyebarkan ajaran Ilahiyah, bahkan berhasil menuntun kaum pendosa ke jalan yang benar. Begitu pula BJ Habibie Presiden ke-3 RI., durasi waktunya 24 jam dalam sehari semalam, toh beliau unggul mengharumkan nama bangsa Indonesia di Mancanegara.

Kita juga diberi tempo 24 jam dalam sehari semalam, seolah durasi waktunya tidak cukup, sehingga banyak pekerjaan kurang beres. Mungkin inilah yang disebut kemalasan yang dipelihara menutup selera berkarya.

Demikian konsekuensi bagi orang yang selalu mengatakan ‘masih ada waktu’, ‘nanti saja’ atau ‘lain kali ya’. Lakukan segera wahai kisanak! Gunakan waktu terindah ini dengan bijak & tokcer.

Jangan menunggu waktu tepat untuk melakukan hal yang terbaik. Betapa banyaknya orang memakai jam tangan bermerek nan berharga, tetapi tidak banyak yang memiliki waktu-waktu yang berharga.

Waktu adalah amal saleh, jangan menyia-nyiakan waktu untuk meraih pendar-pendarnya. Kunci dari sebuah keberuntungan bukan terletak pada bagaimana seseorang menghabiskan waktu, melainkan bagaimana seseorang menginvestasikan waktu dengan amal saleh. Cobalah fokus pada hal yang menjadikan setiap diri bisa lebih bermanfaat, bermakna, dan bernilai amal saleh.

Ya, setiap waktu harus amal saleh, sebab amal saleh merupakan cahaya penerang ketika dunia sedang dirundung kegelapan. Dengan amal saleh pun sebagai jaminan pencerah qalbu saat jagat semesta diselimuti aneka kezaliman.

Berapa umur kita sekarang? Perlahan namun pasti menapaki jejak usia semakin memudar. Dari tahun kelahiran ke tahun berikutnya, rutin bergerak mendekati masa kontrak hidup akan berakhir.

Coba sekali-kali mengkalkulator durasi umur yang sudah terpakai perihal ‘untung rugi’. Sudah berapa nominal besarannya ‘amal saleh’ tersimpan di rekening jiwa tuk akhirat?

Sudah cukupkah tabungan amal saleh untuk membela diri di Pengadilan Mahsyar kelak? Selain itu, masih adakah rincian saldo ‘dosa’ belum sempat ditarik (delete) dari tabungan hawa nafsu yang sering mengendap? Jangan sampai menjadi orang paling bangkrut di akhirat nanti, tekor berakhir penyesalan abadi?

Umur semakin berlari kencang meninggalkan jejak janabijana pertiwi sebagai prasasti abadi, yang tak mungkin direstart tempo lajunya, lebih-lebih lagi ingin diformat untuk memulai dari awal.

Seiring usia bergerak maju bak putaran ban pedati, pasti ada diantara kita mulai terseok-seok melangkah mengarungi asa jalani hidup, sampai tepian ujung perbatasan.

Perjalanan nun jauh ke alam eskatologis sana, arus ganas liar menerjang, jalur bulevarnya penuh kerikil tajam berkelok-kelok nan melelahkan.

Curahan keringat yang lamban merintis cahaya imani, debu-debu dosa pun kadang-kadang cepat menempel sukma. Tidak sedikit yang ragu beratnya beban nista ini, apakah bisa sampai ke jenjang ‘Ashabul Yamin’, negeri seberang penuh kesenangan. Atau jangan-jangan terdampar di pulau ‘Ashabul Syimâl’, tempat paling mengerikan.

Kita tidak boleh terlena oleh silaunya godaan syahwat selama hayat dikandung badan. Dan tetap memusatkan virtual vista ke jalan yang lurus (Shirât al-Mustaqîm), dengan menghindari menoleh ke kiri―menengok ke kanan.

Berhubung, tepi jurang terjal senantiasa mengintai setiap pejalan yang tidak bersungguh-sungguh fokus ke arah tujuan hidup nan baka.

Keteguhan & ketelitian harus menjadi penunjuk jalan keselamatan. Kewaspadaan akan membentuk sebuah kompas ‘penuntun jalan’ agar tidak tersesat selama-lamanya.

Sekali terjungkal di tepi jurang kebinasaan, maka imanlah yang menjadi taruhannya. Bila keinsyafan menghilang sesaat dari siratan atma, maka keimanan langsung amblas. Ya Rabb, bimbinglah kami dalam mengarungi perjalanan hidup meletihkan ini.

Baca juga : Lensa Jurnalistik Islami: Darurat Proman