“Karena Luhut adalah penyelenggara negara dan atau pejabat publik sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN, kan ada ruang berperanserta masyarakat dalam menilai penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya, meskipun adalah hak bagi seluruh warga negara berkeberatan atau menempuh upaya hukum manakala ia merasa dirugikan oleh pendapat publik, kan tidak sepantasnya lebih mengedepankan tindakan seperti itu yang berbuah mengancam-mengancam, harusnya bertindak lebih bijak seperti membina dan mengarahkan ke upaya yang ke demokratis sebagai bapak bangsa,” ungkap Djusman AR yang diketahui juga menjabat sebagai Direktur Lembaga Peduli Sosial Ekonomi Budaya Hukum & Politik (LP-SIBUK) Sulsel.

 

Dirinya pun menganggap bahwa teman seperjuangannya itu menyuarakan pendapat dikarenakan berdasarkan data yang dimilikinya.

 

“Jadi Bung Haris adalah bagian dari publik yang menyuarakan saran dan pendapat yang dijamin konstitusi, bahwa kalau kemudian terdapat kekeliruan apa yang disampaikan, ya klarifikasi, Haris kan sudah mengundang Luhut di Podcast nya namun Luhut memilih jalur hukum. Saya kira Bung Haris bukan aktivis esek-esek yang baru kemarin sore, dia selalu mengedepankan data yang cukup dalam mengeluarkan pendapat,” tuturnya.

 

“Ngapain juga mau minta maaf kalau memang yang disuarakannya itu adalah kebenaran, kan begitu,” lanjutnya.

 

Dirinya juga mengatakan bahwa Menko Marves itu mengapa kesannya selalu mengancam seseorang yang tidak sejalan dengan dirinya.

 

“Luhut itukan terkesan dikenal suka mengancam-ancam orang, selalu mau mempolisikan orang, ya tentu itu tidak menunjukkan sikap kenegarawanannya. Penyelenggara negara seperti itu bukan ciri seorang negarawan, dia harus paham konsekuensi penyelenggara negara itu adalah harus siap dikritik dong, jangan selalu mau dipuji-puji,” ujar Djusman AR yang juga Koordinator Badan Pekerja Komite Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulselbar.