Ikrar tersebut diprakarsai negara-negara global sebagai komitmen untuk meningkatkan partisipasi anak di dalam pendidikan sekolah yang masih sangat rendah karena diskriminasi gender, budaya, hingga fisik. Ikrar tersebut kemudian memunculkan perkembangan yang lebih spesifik. Lima tahun berselang, sebagai wujud keseriusan komitmen global tersebut, maka diadakanlah “The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education” tahun 1995. Deklarasi ini berhasil mengumpulkan 92 negara dan 25 organisasi internasional. Mereka semua berkumpul di Salamanca, Spanyol untuk mendukung suksesi “Education for All” dengan menyamakan persepsi bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan.

Hal tersebut juga sudah ditetapkan dalam Convention On The Right of People with Disabilities (CRPD) yang merupakan konvensi internasional hak-hak penyandang disabilitas yang diselanggarakan oleh Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa pada sidang ke-16 pada tanggal 13 Desember 2006. Indonesia menjadi negara bagian dari konvensi ini setelah mendatangani kesepakatan dalam konvensi pada tanggal 30 maret 2007 di New York.

Di dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas pada pasal 5, 6, 11, 12, juga Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Bagian Kesatu mengenai hak dan kewajiban warga negara pasal 5, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, serta di dalam aturan Permenristedikti No. 46 Tahun 2017 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi menegaskan bahwa di pasal 9 No. 1, 2, 3

  1. Perguruan tinggi mengalokasikan dana untuk melaksanakan Pendidikan khusus
  2. Kementrian memfasilitasi penyelenggaraan Pendidikan khusus di perguruan tinggi
  3. Fasilitas penyelenggaraan Pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat berupa
  4. Sarana dan prasarana
  5. Beasiswa
  6. Pengembangan model layanan mahasiswa berkebuuhan khusus dan / atau
  7. Pengembangan kompetisisi dosen dan tenaga Pendidikan

Meskipun dalam aturan perundang-undangan sudah menjelaskan tentang hak-hak bagi penyandang difabel, akan tetapi pemenuhan hak difabel kerap kali diabaikan. Misalnya, di UNM itu sediri dimana dari HMJ PKh FIP UNM yang sampai hari ini menuntut kampus untuk meyediakan aksesibilitas bagi mahasiswa difabel. Dalam kampus UNM terkhususnya di Fakultas Ilmu Pendidikan sekitar 20 mahasiswa dari angkatan 2016 -2021 penyandang difabel yang memiliki kemampuan yang berbeda sampai hari ini mengeluhkan mengenai persoalan aksesibilitas dalam lingkup kampus, dampak kurangnya aksesibilitas penunjang yang berdampak jelas pada kemandirian mahasiswa penyandang difabel. Padahal aksesibilitas sudah menjadi kewajiban bagi kampus untuk menyediakan, mengadakan sesuai kebebasan dalam mengekspresikan hak fundamental dan konstitusional.