Sudah Inklusifkah UNM???
Ilustrasi Difabel. Foto: Republika

Deretan kasus tersebut menjadi sebuah problem tersendiri, di tengah iklim reformasi dan demokrasi yang sedang dan terus bergulir. Tentu ini menjadi ujian bagi Bangsa Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi. Sebuah tantangan tersendiri bagi civitas academica UNM sebagai institusi Perguruan Tinggi yang semestinya menjadi role model penyelenggaraan demokrasi yang baik justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi akibat masih banyaknya sistem yang diskriminatif. Contohnya, menara Phinisi yang mega nan indah, namun satu pun aksesibilitas tidak nampak dirasakan oleh teman-teman penyandang difabel, dan lebih mirisnya lagi di salah satu Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum ada teman teman tuna netra yang berusaha mandiri tanpa adanya akses yang disediakan, bahkan di Fakultas Ilmu Pendidikan itu sendiri yang notabenenya mempunyai suatu jurusan Pendidikan khusus, namun sangat minimnya aksesibilitas yang ada.

Jadi, ketika pimpinan kampus sebagai aktor Pemikiran inklusi, bukan aktor finansial maka pendidikan di Universitas Negeri Makassar menjadi pendidikan harmonis humanis tanpa membedakan latar belakang dari setiap mahasiswanya.

Sebab dunia pendidikan apabila proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis masalah sistem diskriminatif bagi difabel, maka proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif freirean disebut sebagai pendidikan fatalistik.

Jadi dalam sistem ini, tugas pendidikan adalah menyiapkan sumber daya manusia untuk memproduksi sistem tersebut agar pendidikan mampu dalam memerankan diri dalam menyiapkan masyarakat demokratis dan adil.

Dalam konteks memanusiakan penyandang difabel, pendidikan perlu mengubah visi ideologi mereka terhadap difabel. Apa yang diperlukan adalah dekonstruksi terhadap paham cacat-normal yang selama ini tanpa disadari dilanggengkan juga oleh sistem pendidikan. Perjuangan penyandang difabel untuk bebas dari diskriminasi dan ketidakadilan tidak saja menyangkut aksesibilitas dalam sistem sosial, politik, ekonomi, budaya, serta lingkungan infrastruktur yang ada, namun justru yang lebih berat adalah peluang mengubah asumsi dan ideologi cacat-normal yang telah mengakar di masyarakat. Dalam konteks itulah perubahan ideologi pendidikan menuju ‘sensitif terhadap difabel menduduki posisi penting.