MAKASSARSudah Inklusifkah UNM? merupakan tulisan dari Ketua Umum HMJ PKh FIP UNM – Muhammad Syarif.

Semua warga negara yang berkeinginan untuk mengenyam Pendidikan tinggi tidak boleh dibedakan, untuk yang berkebutuhan khusus kami berikan semaksimalnya.

Kira-kira diksi itulah yang diucapkan Rektor UNM, Prof. Dr. Ir. H. Husain Syam, M.TP., IPU., ASEAN Eng.. Pertanyaan mendasar yang diajukan dalam tulisan ini adalah sudah inklusifkah UNM? Untuk menjawabnya, pertama, dimulai dari hal yang paling mendasar untuk dianalisis, yakni bagaimana konstruksi diskursus mengenai penyandang difabel. Dalam pikiran kebanyakan, orang-orang selalu menganggap penyandang difabel merupakan orang yang tidak bisa melakukan apapun karena pada dasarnya hal yang menjadi kontruksi sosial pada hari ini adalah sering dianggap sebagi orang berpenyakitan, cacat, orang gila, dll. Sehingga menimbulkan subordinasi pada penyandang difabel yang kebanyakan dari mereka tidak diberi kepercayaan untuk memimpin atau mengambil keputusan dan tidak ditempatkan pada posisi yang penting.

Baca Juga : Perempuan Dalam Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia

Ia hanya dijadikan sebagai objek meraih keuntungan dengan berkedok penelitian, meriset, wawancara dengan dalih untuk memberikan proses pembelajaran dengan baik. Menurut teori Hegemoni Antonio Gramsci, demokrasi harus memberikan tempat pada keberadaan kelompok marginal agar bisa mengartikulasikan diri mereka. Penyandang difabel adalah kelompok marginal. Namun, karena persepsi terhadap mereka dikonstruksi oleh budaya “normalitas”, dalam sistem yang demokratis pun sikap “menganggap tidak penting” mereka tetap menghegemoni.

Dunia internasional sudah memandang penting sebuah pendidikan terutama pada anak-anak, bahkan secara internasional, pendidikan sudah menjadi hak setiap anak. Beberapa dekade lalu, tepatnya pada tahun 1989 “UN General Assembly” mengadopsi “The Convention on The Rights of the Child” yang mengikrarkan “Make primary education compulsory and available free to all” (Ki-Moon 2007, 38). Setahun berselang, maka diadakanlah sebuah pertemuan di Jomtien, Thailand pada tahun 1990 yang membahas mengenai kelanjutan pertemuan lalu mengenai hak anak dalam pendidikan.

Ikrar tersebut diprakarsai negara-negara global sebagai komitmen untuk meningkatkan partisipasi anak di dalam pendidikan sekolah yang masih sangat rendah karena diskriminasi gender, budaya, hingga fisik. Ikrar tersebut kemudian memunculkan perkembangan yang lebih spesifik. Lima tahun berselang, sebagai wujud keseriusan komitmen global tersebut, maka diadakanlah “The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education” tahun 1995. Deklarasi ini berhasil mengumpulkan 92 negara dan 25 organisasi internasional. Mereka semua berkumpul di Salamanca, Spanyol untuk mendukung suksesi “Education for All” dengan menyamakan persepsi bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan.

Hal tersebut juga sudah ditetapkan dalam Convention On The Right of People with Disabilities (CRPD) yang merupakan konvensi internasional hak-hak penyandang disabilitas yang diselanggarakan oleh Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa pada sidang ke-16 pada tanggal 13 Desember 2006. Indonesia menjadi negara bagian dari konvensi ini setelah mendatangani kesepakatan dalam konvensi pada tanggal 30 maret 2007 di New York.

Di dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas pada pasal 5, 6, 11, 12, juga Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Bagian Kesatu mengenai hak dan kewajiban warga negara pasal 5, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, serta di dalam aturan Permenristedikti No. 46 Tahun 2017 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi menegaskan bahwa di pasal 9 No. 1, 2, 3

  1. Perguruan tinggi mengalokasikan dana untuk melaksanakan Pendidikan khusus
  2. Kementrian memfasilitasi penyelenggaraan Pendidikan khusus di perguruan tinggi
  3. Fasilitas penyelenggaraan Pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat berupa
  4. Sarana dan prasarana
  5. Beasiswa
  6. Pengembangan model layanan mahasiswa berkebuuhan khusus dan / atau
  7. Pengembangan kompetisisi dosen dan tenaga Pendidikan

Meskipun dalam aturan perundang-undangan sudah menjelaskan tentang hak-hak bagi penyandang difabel, akan tetapi pemenuhan hak difabel kerap kali diabaikan. Misalnya, di UNM itu sediri dimana dari HMJ PKh FIP UNM yang sampai hari ini menuntut kampus untuk meyediakan aksesibilitas bagi mahasiswa difabel. Dalam kampus UNM terkhususnya di Fakultas Ilmu Pendidikan sekitar 20 mahasiswa dari angkatan 2016 -2021 penyandang difabel yang memiliki kemampuan yang berbeda sampai hari ini mengeluhkan mengenai persoalan aksesibilitas dalam lingkup kampus, dampak kurangnya aksesibilitas penunjang yang berdampak jelas pada kemandirian mahasiswa penyandang difabel. Padahal aksesibilitas sudah menjadi kewajiban bagi kampus untuk menyediakan, mengadakan sesuai kebebasan dalam mengekspresikan hak fundamental dan konstitusional.

Sudah Inklusifkah UNM???
Ilustrasi Difabel. Foto: Republika

Deretan kasus tersebut menjadi sebuah problem tersendiri, di tengah iklim reformasi dan demokrasi yang sedang dan terus bergulir. Tentu ini menjadi ujian bagi Bangsa Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi. Sebuah tantangan tersendiri bagi civitas academica UNM sebagai institusi Perguruan Tinggi yang semestinya menjadi role model penyelenggaraan demokrasi yang baik justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi akibat masih banyaknya sistem yang diskriminatif. Contohnya, menara Phinisi yang mega nan indah, namun satu pun aksesibilitas tidak nampak dirasakan oleh teman-teman penyandang difabel, dan lebih mirisnya lagi di salah satu Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum ada teman teman tuna netra yang berusaha mandiri tanpa adanya akses yang disediakan, bahkan di Fakultas Ilmu Pendidikan itu sendiri yang notabenenya mempunyai suatu jurusan Pendidikan khusus, namun sangat minimnya aksesibilitas yang ada.

Jadi, ketika pimpinan kampus sebagai aktor Pemikiran inklusi, bukan aktor finansial maka pendidikan di Universitas Negeri Makassar menjadi pendidikan harmonis humanis tanpa membedakan latar belakang dari setiap mahasiswanya.

Sebab dunia pendidikan apabila proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis masalah sistem diskriminatif bagi difabel, maka proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif freirean disebut sebagai pendidikan fatalistik.

Jadi dalam sistem ini, tugas pendidikan adalah menyiapkan sumber daya manusia untuk memproduksi sistem tersebut agar pendidikan mampu dalam memerankan diri dalam menyiapkan masyarakat demokratis dan adil.

Dalam konteks memanusiakan penyandang difabel, pendidikan perlu mengubah visi ideologi mereka terhadap difabel. Apa yang diperlukan adalah dekonstruksi terhadap paham cacat-normal yang selama ini tanpa disadari dilanggengkan juga oleh sistem pendidikan. Perjuangan penyandang difabel untuk bebas dari diskriminasi dan ketidakadilan tidak saja menyangkut aksesibilitas dalam sistem sosial, politik, ekonomi, budaya, serta lingkungan infrastruktur yang ada, namun justru yang lebih berat adalah peluang mengubah asumsi dan ideologi cacat-normal yang telah mengakar di masyarakat. Dalam konteks itulah perubahan ideologi pendidikan menuju ‘sensitif terhadap difabel menduduki posisi penting.

Persepsi yang salah harus didekonstruksi jika ingin mewujudkan sebuah revolusi mental. Filsuf Prancis, Jaques Derrida mengatakan, apa yang dianggap sebagai tatanan kodrat pun bisa didekonstruksi jika itu tidak benar. Masyarakat yang masih percaya bahwa disabilitas merupakan kodrat akibat dosa atau kutukan harus didekonstruksi sehingga terjadilah masyarakat yang berkemanusiaan.

Baca Juga : RINDU

Pilihan Video