Siapa pun mahfum jika sebuah perbuatan harus dilihat dari niat itu sendiri yang biasa disebut Means Rea. Sebuah proyek- proyek besar yang akan dilakukan tentunya, meskipun akan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat banyak, haruslah dilegalkan terlebih dahulu dengan menggunakan UU hingga turunan sampai ke peraturan Bupati/walikota sehingga tindakan yang dilakukan (atus reus) yang awalnya illegal yang berdampak merugikan masyarakat banyak, akan menjadi sah dimata hukum dan yang fonemenal adalah UU Omnibus Law.

Pembetukan regulasi yang demikian tentunya cenderung koruptif dan biasanya dilakukan hingga pelaksanaan sampai di lapangan, yang tentunya melibatkan persetujuan gubernur hingga bupati/walikota. Dan lagi-lagi persoalan ini juga tidak terlepas dari perhelatan politik dalam hal ini pilkada sebagai bagian balas jasa politik dan kita saksikan bagaimana gubernur, bupati dan walikota terseret dalam pusaran korupsi dan ini terjadi secara massif.

Pertanyaan berikutnya apakah persoalan hanya sampai vonis hakim? tentunya tidak. Masih banyak regulasi yang memberikan kemudahan bagi para napi koruptor, salah satunya adalah bagaimana Mahkamah Agung RI mengabulkan Judicial Review PP No. 99 tahun 2012 atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang remisi, padahal diketahui UU tersebut pernah di judicial review dan hakim menolak. Namun tahun ini untuk kali kedua hakim mengabulkan dengan alasan terpidana koruptor tidak boleh dibeda-bedakan dengan pelaku kejahatan umum. Dalam konsep ini, hakim memasukan konsep Restoratif Justice, koruptor telah memboceng konsep Restorative Justice, padahal diketahui konsep Restoratif Justice sebelumnya hanya dipergunakan dalam perkara-perkara Anak berhadapan dengan hukum, sekarang berlaku pula untuk kasus kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

SELAMAT HARI ANTI KORUPSI!

Baca Juga : Fitnah, Niat dan Integritas

Pilihan Video