Ibnu Hajar Yusuf
(Kepala Laboratorium Komunikasi Politik UIN Makassar)

Menguatkan wacana adanya peluang amandemen UUD 1945, dua isu mencuat  sebagai tujuannya adalah dalam rangka merubah Pasal 7 yang mengatur masa jabatan presiden dari maksimal dua periode menjadi tiga periode selama lima tahun atau memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode selama tiga tahun.

Baca juga : Lensa Jurnalistik Islami: Darurat Proman

Perpanjangan itu juga disertai dengan penambahan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Namun, masa jabatan kepala daerah kemungkinan tidak akan terpengaruh. Jika skenario tersebut berjalan, pada 2024 hanya akan ada pemilihan kepala daerah.

Secara normatif walaupun rencana ini konstitusional, karena skenario apa pun yang dipilih, tetap membutuhkan amandemen UUD 1945. Perubahan konstitusi harus diusulkan minimal oleh satu per-tiga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat atau 237 dari 711 anggota DPR dan DPD.

Namun secara etis perpanjangan masa jabatan presiden apapun alasannya, apa lagi hal tersebut dilakukan dengan alasan pandemi Covid-19 atau darurat kesehatan, akan menghina sekaligus melecehkan dua hal, yaitu reformasi dan demokrasi sekaligus.

Pertama, reformasi pada Mei 1998 atau 23 tahun yang lalu terjadi karena beberapa tuntutan, yang paling esensial adalah untuk menghentikan otoritarianisme, menuntut kebebasan dan demokrasi, serta membatasi masa jabatan presiden dari sebelumnya bisa dijabat berkali-kali menjadi cukup dua periode.

Gerakan ini bukanlah aksi protes yang mudah, karena berhadapan dengan negara, kekuasaan yang represif dan ditambah militer, mengakibatkan banyak jatuh korban, pertumpahan darah, penjarahan, penculikan dan pembunuhan terhadap para aktivis. Semua itu adalah harga yang harus ditebus, demi perubahan rezim.

Tapi apabila wacana perpanjangan masa jabatan presiden dikemukakan, bukan hanya ingin membangkitkan mumi orde baru melainkan juga menginjak-injak kepala dan perjuangan kaum reformis.

Kedua, demokrasi yang kita nikmati saat ini bukan dipetik dari kebun, melainkan diperoleh dari hasil perjuangan dan pertumpahan darah melalui gerakan reformasi.

Sehingga apa bila wacana perpanjangan masa jabatan presiden itu menguat, akan semakin memperburuk iklim demokrasi di Indonesia yang saat ini justru semakin merosot.

Alasan dan dasar perpanjangan tersebut paling berbahaya, karena konsekuensinya adalah meniadakan sistem pemilu yang jujur, adil dan demokratis.

Sehingga dapat ditegaskan kembali, rencana tersebut sangat bertentangan dengan akal sehat, melecehkan demokrasi, tidak hanya akan berdampak buruk bagi masa depan pemerintahan yang baik, tetapi juga mempermainkan konstitusi dan memancing amarah publik.