Memperhatikan ketiga temuan ORI a quo, terjadinya penimbunan minyak goreng dapat dikualifisir kedalam tiga perbuatan hukum yang dapat dikenakan kepada pelaku penimbunan sebagai berikut:
1. Pelanggaran Administrasi
Mandat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, telah ditegaskan secara mendetail sehingga seluruh pelaku usaha wajib untuk mentaatinya. Karena bilamana pelaku usaha sengaja atau lalai dalam menjalankan mandat UU tentang Pangan maka secara hukum terdapat konsekwensi sanksi administratif yang harus ditanggung oleh pelaku usaha itu sendiri, sebagaimana ketentuan perundang-udangan sebagai berikut:
Pasal 52 ayat (1)
“Dalam hal Perdagangan Pangan, Pemerintah menetapkan mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan Pangan Pokok oleh Pelaku Usaha Pangan”.
Pasal 53
“Pelaku Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52”.
Pasal 54 ayat (1)
“Pelaku Usaha Pangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dikenai sanksi administratif”.
Ayat (2)
“Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. denda;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; dan/atau
c. pencabutan izin”.
Sementara pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan:
Pasal 29 (1)
“Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang”.
2. Pelanggaran Pidana
Terjadinya perbuatan pidana terhadap pelaku penimbunan minyak goreng telah diatur didalam ketentuan UU tentang Pangan dan UU tentang Perdagangan. Sehingga penyidik dapat saja memberlakukan kedua ketentuan pidana atas pelaku penimbunan minyak goreng a quo.
Di dalam Pasal 133 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang di ubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja yang berbunyi:
Pasal 133
“Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.0O0.OOO,00 (seratus lima puluh miliar rupiah)”.
Pasal 147
“Setiap pejabat atau penyelenggara negara yang melakukan atau membantu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 sampai Pasal 145, dikenai pidana dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana masing-masing”.
Sementara didalam UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 107 menyebutkan:
Pasal 107
“Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)”
Tindak pidana penimbunan minyak goreng termasuk tindak pidana yang disengaja (dolus) guna meraut keuntungan yang sebesar-besarnya, yang dampaknya dapat membawa masyarakat panic dan mengalami kerugian besar. Oleh karenanya, penyidik harus mampu mengungkap siapa dalang atas kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng.
3. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Dalam konteks hukum hak asasi manusia, potensi Pelanggaran hak asasi manusia dengan adanya kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng dipasaran, yang secara langsung membuat masyarakat menjadi susah dalam memperoleh minyak goreng adalah tanggungjawab pemerintah. Posisi masyarakat selaku pengguna minyak goreng, hanya memiliki hak untuk tetap dipenuhinya kebutuhan pokok mereka. Dengan tidak terpenuhinya hak masyarakat untuk mendapatkan dan memperoleh minyak goreng dengan muda adalah pertanda bahwa pemerintah tidak mampu memenuhi hak atas pangan (minyak goreng) bagi warga negaranya. Padahal seyoganya negara (pemerintah) selaku pemangku kewajiban dapat memenuhi hak masyarakat dalam hal penyediaan minyak goreng. Tidak ada alasan yang mendesak sehingga pemerintah tidak mampu memenuhi hak ekosob warganya seperti hak untuk memperoleh minyak goreng yang layak dan terjangkau. Minyak goreng merupakan kebutuhan dasar masyarakat, sehingga ketersedian dan akses untuk mendapatkannya menjadi kewajiban pemerintah yang tidak boleh diabaikan. Dalam Kovenan Hak Ekosob (ICESCR) yang sudah diratifikasi pemerintah Indoensia melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 Pasal 11 ayat (1) disebutkan:
“Negara-Negara peserta Kovenan mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian dan perumahan layak, serta perbaikan kondisi hidup terus-menerus”.
Selanjutnya didalam konstitusi Pasal 28H ayat (1) menyebutkan:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Sehingga dengan dasar a quo diatas, maka pemerintah wajib menjalankan mandat Konstitusi, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan ICESCR, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan serta UU Nomor 7 Tahun 2014.

Baca Juga : Operasi Minyak Goreng, Disdag Kota Makassar Diserbu Warga