Oleh: Ridwan Amiruddin

OPINI – Memasuki  awal September 2021, berita perkembangan covid 19 di Indonesia menunjukkan  trend pengendalian yang semakin terkontrol. Dalam kurva pandemik ini gelombang kedua yang mulai mereda.

 

Trend gelombang kedua yang meningkat tajam tak terkontrol di bulan Juli 2021 sangat menghawatirkan, kasus baru terkonfirmasi menembus batas psikologis di atas 10.000  per hari, angka kematian ribuan per hati  BOR Rumah sakit di atas 85%. Obat obatan covid 19 habis, oksigen di RS habis, tempat isolasi hampir penuh hingga pasien harus antri di pelataran RS. Bahkan Indiktor positifity rate tembus di atas 50%

 

Situasi itu menempatkan Indonesia sebagai epicentrum covid 19 dunia. Itu tentu status yang kurang sedap dimata dunia. Berbagian negara membatasi WNI masuk ke negara mereka. Untuk membatasi penularan di wilayah masing masing.

 

Situasi darurat kesehatan masyarakat yang berkepanjangan  tersebut terjadi karena beberapa hal yang memperburuknya.

1. Respon yang lamban dari pihak otoritas

2. Koordinasi antar sektor yang lemah

3. Ambigu Pilar pengendalian  covid 19 antara ekonomi dan pandemik.

4. Ketahanan sistem kesehatan yang buruk

5. Banyak nakes yang menjadi korban covid 19.

6. Rendahnya partisipasi publik dalam pengendalian covid 19.

 

Berdasarkan rangkaian  masalah tersebut, sepertinya butuh energi lebih untuk bisa bertahan di tengah gejolak pandemik yang memporak porandakan seluruh sendi aktifitas kehidupan.

Berita duka kematian silih berganti,  PHK terjadi di mana mana, banyak sektor usaha gulung tikar. Bahkan sendi sendi  kehidupan bangsa mulai goyah dengan berbagai tekanan.

 

Memaknai kasus melandai

Setelah melewati fase gelombang ke dua yang  meningkat tajam hingga pertengahan Agustus 2021, secara perlahan  pertumbuhan kasus mulai menurun secara gradual. Sebelum kasus melandai terkendali, pertanyaan besar yang menjadi perhatian adalah. Apa penyebab kasus meningkat ekstrim bahkan diluar prediksi satgas covid dan para ahli.