“Janganlah selalu menete di fakultas, carilah anggaran sendiri.” kira-kira diksi itulah yang di ucapkan salah satu pimpinan fakultas ilmu pendidikan pada saat pertemuan seluruh lembaga kemahasiswaan di ruang senat pada hari jum’at lalu. Mengapa demikian? Karena pada saat kami mendengarkan penjabaran anggaran di setiap lembaga kemahasiswaan, kami menanyakan persoalan anggaran yang tiap tahunnya menurun.

Hal ini, tentu tidak jauh dari persoalan Rancangan Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga (RKA-KL) yang merupakan dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan suatu Kementerian/Lembaga, yang sampai hari ini di perjuangkan untuk ditransparansikan, jelas ini di atur dalam Undang-undang keterbukaan publik. Sebab PNBP, yang dimana hal itu bersumber dari UKT mahasiswa. Artinya tidak salah, bahkan seharusnya mahasiswa perlu untuk mengetahui kemana UKT yang kemudian di bayar selama ia berada didalam kampus.

Terlepas dari permasalahan di atas, kita tahu bersama banyaknya kasus-kasus yang terjadi di dalam kampus, sebut saja Pelecehan seksual, Ilegalnya prodi hukum, pencurian fasilitas, dan masalah pembangunan yang setiap kalinya bertentangan dengan persoalan Aksesibilitas serta masih banyak lagi. Terus solusi dari pimpinan? Ya tidak lain hanya menenggelamkan kasus-kasus yang ada. Demi apa? Ya tidak lain menjalankan visi yang terbaik menurut kalangan mereka.

Tentu ini menjadi masalah yang perlu kita diskusikan bersama. Kenapa tidak, hari ini di dalam fakultas ilmu pendidikan ada salah satu pembangunan tempat wudhu atau WC masjid, tidak sama sekali di perhitungkan untuk menyediakan aksesibilitas bagi teman teman Difabel, mengingat data teman teman Difabel yang berada di fakultas Ilmu Pendidikan, itu semakin bertambah setiap tahunnya, dan mestinya setiap adanya pembangunan itu mesti di hadirkan atau di berikan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan teman-teman Difabel sesuai dengan peraturan permenristedikti No. 46 Tahun 2017 tentang pendidikan Khusus dan pendidikan layanan khusus.