JAKARTA – Penerapan bea meterai bagi transaksi e-commerce dikhawatirkan dapat menghambat laju perkembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), pernyataan dipaparkan oleh D irektur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri yang menurutnya hal itu diatur dalam Pasal 3 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 10/2020 tentang Bea Meterai.

Baca Juga : Pertamina Masih Tunggu Hasil Kajian Tentang Penerapan Cukai BBM

Penerapan hal ini dapat menimbulkan potensi distorsi kegiatan usaha, terutama bagi UMKM yang perkembangannya sangat terbantu dengan kehadiran e-commerce.

Yose mengatakan bahwa, jika setiap melakukan transaksi harus diterapkan biaya materai dan harus tetap menyimpan record-nya maka hal tersebut tentu akan menambah pengeluaran UMKM atau platform digitalnya yang harus menambah ruang untuk menyimpan bukti transaksi tersebut.

“Kalau setiap ada transaksi harus ada biaya meterai, kemudian dia harus tetap harus simpan record-nya. Ini tentunya akan menambah biaya kepada UMKM atau kepada platform digitalnya, di mana platform digitalnya harus menambah lagi space untuk menyimpan transaksi meterai ini,” ujar Yose dilansir dari CNN Indonesia.

Lanjutnya, memang benar pemerintah mendapatkan pemasukan dari penerapan meterai. Namun, tidak banyak transaksi di e-commerce yang melebihi Rp5 juta.

“Ini menambah biaya yang jelas dan akan memberikan distorsi pada pelaku usaha digital ketika terms and condition itu diberikan pada transaksi diberi meterai ya ini kan menambah biaya untuk pelaku usaha itu sendiri,” kata Yose.

Lebih lanjut,jika dihitung maka penghasilan dari UMKM itu sendiri terbilang kecil.

“Mungkin kalau dihitung-hitung kecil benefit-nya, tapi cost-nya sudah ada,” lanjutnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Services Dialogue Council (ISD) Council, Devi Ariyani menambahkan bahwa selain bertambahnya biaya operasi bagi platform belanja online, berlakunya kebijakan ini akan membuat perusahaan e-commerce terpaksa merombak sistem agar dapat mengakomodir transaksi bermeterai.