KESEHATAN – Apakah kamu pernah memiliki momen ketika pasangan suka mendiamkanmu setiap usai bertengkar atau tanpa sebab yang jelas? Jika iya, maka kamu telah menerima sebuah silent treatment.

Dilansir dari Very Well Mind, silent treatment merupakan taktik manipulasi yang dapat membuat masalah penting dalam suatu hubungan tidak terselesaikan. Seseorang yang menjadi korban dari silent treatment sering kali akan merasakan perasaan sedih, marah, tidak dihargai, tidak dicintai, hingga frustasi.

Hal ini dapat terjadi pada apapun jenis hubungannya, baik itu percintaan, pertemanan, hingga keluarga. Atau mungkin, kamu pun juga secara tak sadar pernah melakukannya.

Buruknya dari kebiasaan ini adalah saat pasangan melakukan kesalahan, mereka enggan mengakuinya. Namun, kamu juga harus bisa membedakan diam untuk menunda berbicara atau diam yang enggan bicara.

Dilansir dari Psychology Today, menurut seorang senior perawat kesehatan dari American Psychological, perlakuan diam yang enggan bicara berbeda dengan diam dengan niat untuk menciptakan batasan untuk meregulasi emosi. Sebab perlakuan diam pada sikap silent treatment bertujuan untuk menghukum orang lain.

Sikap silent treatment yang sering dilakukan seseorang dalam sebuah hubungan justru akan merusak hubungan dan menjadikannya tidak sehat. Bahkan, silent treatment dapat membahayakan pasangan yang menjadi korban dari sikap tersebut. Lantas, apa saja bahaya dari silent treatment dalam sebuah hubungan? Yuk, simak jawabannya di bawah ini!

Kesehatan Mental

Hal utama yang dapat membahayakan dari silent treatment dalam sebuah hubungan adalah merusak kesehatan mental pasangan yang menjadi korban sikap tersebut. Yup, tak dipungkiri jika korbannya akan merasakan kesedihan, kemarahan, kekecewaan, tidak dicintai lagi, hingga frustasi yang dapat berujung pada depresi.

Sebab perlakuan diam dalam silent treatment tak hanya menunjukkan sikap diam, namun korbannya seolah-olah tak lagi terlihat atau tak dianggap ada. Melansir dari Very Well Mind, orang yang kerap melakukan silent treatment justru menunjukkan bahwa ia tidak mampu dalam mengomunikasikan rasa sakit yang ia rasakan, bahkan pada saat mengalami sebuah konflik.