JAKARTA – Bertolak pangkal pada Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan legalitas Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan, posisi Presiden sebagai atribut kekuasaan tentunya memiliki dampak terhadap kebijakan publik. Salah satunya adalah terkait pemilihan/penunjukan para pembantu presiden (Menteri Negara) karena pengangkatannya pun merupakan hak prerogatif Presiden. Legalitas posisi Menteri Negara termaktub dalam Pasal 17 UUD 1945.

Sistem Presidensial yang dianut berimplikasi secara yuridis bahwa kebijakan Presiden dibatasi oleh aturan konstitusi. Namun demikian, tolak ukur tersebut dapat berbenturan dengan berbagai konflik kepentingan mengingat Indonesia menganut sistem multi parpol.

Dalam keadaan ini, Presiden diberikan atribut berupa Hak Prerogatif. Ruang inilah strong leadership Presiden akan diuji. Tolak ukur konkrit untuk mengetahui daya tawar Presiden tidak dapat diintervensi adalah berani dan tidaknya mengambil kebijakan pembentukan Kabinet Ahli (Zaken Cabinet). Kabinet Ahli adalah mayoritas dari kalangan profesional di luar Parpol. Berdasarkan Pasal 15 UU Kementerian Negara No.39 Tahun 2008 paling banyak adalah 34. Dalam kondisi seperti ini, sikap negarawan dari Presiden akan diuji. Rebutan kursi dan komposisi dari koalisi Parpol akan menentukan arah kabinet.

Hemat penulis, sungguh disayangkan Presiden justru mengangkat Menteri Negara dari Ketum Parpol. Ada 4 Ketum Parpol yang masuk dalam jajaran kabinet (Ketum Gerindra, Golkar, PPP dan PAN). Disini sesungguhnya Presiden telah membuka celah conflict of interest dalam kabinet. Mandat dari Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 4 ayat (1) UU Kementerian Negara berpotensi rawan disalahgunakan.

Kepentingan negara atau parpol? Bukankah larangan rangkap jabatan sebagai Menteri Negara juga ada (Pasal 23 point c) jika dalam kapasitas sebagai pimpinan atau ketum?