JAKARTA – Harga BBM jenis pertalite secara terang-terangan dinyatakan akan naik oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.

Baca Juga : Luhut Pandjaitan Pimpin Penanaman Mangrove di Maros, Ini Katanya!

Menurunya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengumumkan kenaikan harga pertalite dan solar subsidi minggu ini.

“Mungkin minggu depan (minggu ini) presiden akan mengumumkan mengenai apa dan bagaimana mengenai kenaikan harga (BBM) ini,” ucap Luhut dilansir dari CNNIndonesia.com.

Pemerintah seakan tidak banyak pilihan karena harga minyak mentah dunia meroket setelah perang Rusia-Ukraina yang berpotensi membuat belanja subsidi energi semakin membengkak.

Pemerintah mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp502 triliun atau naik dari rencana awal yang hanya Rp170 triliun pada tahun 2022.

Sementara, harga BBM penugasan pertalite masih ditahan di level Rp7.650 per liter dan solar bersubsidi Rp5.150 per liter.

Lantas apa saja sebenarnya faktor-faktor penentu kenaikan harga BBM?

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan ada beberapa faktor yang bisa membuat harga BBM naik.

Pertama, kenaikan harga minyak mentah dunia.

Hal ini merupakan faktor terbesar penentu harga BBM. Ketika harga minyak mentah global melambung, biaya operasional Pertamina sebagai pihak yang mengimpor komoditas tersebut akan ikut membengkak. Dengan kata lain, modal PT Pertamina (Persero) semakin bertambah, sehingga harga jual BBM ke konsumen ikut meningkat.

“Faktor harga minyak paling besar pengaruhnya. Menentukan 85 hingga 90 persen total biaya pengadaan BBM,” kata Fabby.

Berdasarkan data Reuters yang dikutip CNNIndonesia.com, harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Oktober naik US$3,74 atau 3,9 persen ke level US$100,22 per barel pada Selasa (23/8) waktu AS atau Rabu (24/8) waktu Indonesia.

Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman September naik US$3,38 atau 3,7 persen menjadi US$93,74 per barel.

Kedua, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah. Fabby mengatakan kenaikan harga minyak mentah global bisa semakin parah jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS anjlok.

Pasalnya, nilai rupiah akan semakin murah ketika mata uang Garuda itu keok di hadapan dolar AS. Oleh karena itu, Pertamina atau pengimpor lain otomatis perlu mengeluarkan uang rupiah lebih banyak untuk membeli minyak dari luar negeri.

Ketiga, biaya transportasi atau logistik. Keempat, ongkos operasional kilang.

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan subsidi energi bisa membengkak Rp198 triliun menjadi Rp700 triliun jika harga pertalite dan solar tak naik.

Tambahan dana itu dibutuhkan untuk menambah kuota pertalite dari 23 juta kiloliter (kl) menjadi 29 juta kl.

Data Pertamina menunjukkan penyaluran pertalite telah mencapai 16,8 juta kl pada akhir Juli 2022.

Dengan demikian, kuota pertalite hanya tersisa 6,25 juta kl sampai akhir tahun.

Sementara, penyaluran solar telah mencapai 9,9 juta kl hingga Juli 2022. Alhasil, sisa kuota solar hanya tersisa 5,2 juta kl dari total kuota 15,1 kl.

Jika tak ditambah, kuota akan habis sebelum akhir 2022. Hal ini berpotensi memicu keresahan di masyarakat.