Angka ini menggambarkan betapa bobroknya pendidikan politik kita hari ini. Tak heran jika Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan 600 dugaan politik uang di 101 daerah selama Pilkada Serentak 2017 lalu.

Padahal, money politics mempunyai dampak yang buruk bagi seluruh masyarakat. Pertama, bagi pelakunya secara langsung. Perbawaslu yang berlaku saat ini telah memberikan keluasan wewenang kepada bawaslu untuk memberi sanksi bagi calon yang melanggar. Dalam regulasi ini, seluruh calon kepala daerah yang melakukan kecurangan yaitu dengan sengaja memberikan uang untuk mempengaruhi pemilih, selain terkena sanksi pidana, juga terancam pencalonannya akan dibatalkan.

Sanksi pidana tidak hanya mengancam calon kepala daerah bersangkutan. Tetapi juga tim relawan, partai politik, dan masyarakat. Sanksi pidana untuk menjerat pelaku politik uang telah diatur ‎dalam UU KUHP pasal 149 ayat (1) dan (2) .

Ayat 1 berbunyi “Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling besar empat ribu lima ratus rupiah.”‎ Contoh tegas sanksi ini sudah kita saksikan di Pilgub Sulbar kemarin. Dimana salah satu tim pasangan calon divonis 3 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah karena melakukan praktik money politics.

Masyarakat yang menerima juga terancam dipidana. pada ayat 2 disebutkan bahwa ancaman pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang menerima pemberian atau janji, atau dengan kata lain mau disuap.‎