“Resiliensi tidak hanya soal kemampuan menghadapi bencana alam, tetapi juga bagaimana kota ini mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, termasuk dalam hal teknologi dan kebutuhan ekonomi warga,” ujarnya.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, kata Ilham, Pemerintah Kota Makassar telah meluncurkan berbagai program yang mendukung ketahanan lingkungan dan ekonomi, seperti program pengelolaan sampah berbasis masyarakat, peningkatan infrastruktur hijau, dan penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai tulang punggung ekonomi lokal.

“Di bawah kepemimpinan Pak Danny Pomanto, pemerintah kota telah membangun dari lorong. Baik itu secara infrastruktur maupun kehidupan sosial masyarakat. Kita lihat sudah banyak lorong wisata (longwis), dan itu sangat membatu kehidupan warga lorong. UMKM sangat terbantu dengan program itu,” ujarnya.

Sombere: Budaya yang Ramah dan Inklusif

“Sombere” merupakan istilah Bugis-Makassar yang berarti ramah, hangat, dan bersahabat. Nilai ini menjadi ciri khas masyarakat Makassar yang menjunjung tinggi keramahtamahan serta kebersamaan.

Ilham pun ingin memastikan bahwa budaya sombere ini tetap menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, di tengah laju modernisasi dan urbanisasi.

Dalam visi “Makassar Kota Dunia”, budaya sombere diartikan sebagai bagaimana kota ini bisa menjadi tempat yang inklusif, di mana semua lapisan masyarakat, baik penduduk lokal maupun pendatang, merasa diterima dan dihargai.

Menurut Ilham, hal ini juga mencakup upaya membangun komunitas yang harmonis, menghormati perbedaan, serta menjunjung tinggi toleransi.

“Pembangunan fisik saja tidak cukup. Karakter sombere harus terus dipertahankan dan dikembangkan. Ini yang membuat Makassar berbeda dan unik di mata dunia,” kata Ilham.

Berbagai kegiatan budaya dan festival lokal juga diselenggarakan untuk mempromosikan nilai-nilai sombere ini, termasuk program edukasi bagi generasi muda tentang pentingnya menjaga budaya lokal sebagai identitas yang harus dipertahankan.