Gerakan 4B pertama kali muncul di Korea Selatan pada tahun 2018 selama periode di mana gerakan #MeToo sedang hangat. Gerakan ini dianggap sebagai cara bagi perempuan Korea Selatan untuk menyuarakan penolakan terhadap misogini, diskriminasi gender, dan kekerasan terhadap perempuan.

Minat baru dalam gerakan 4B melejit setelah pemilu AS selesai, di mana isu gender memiliki peran sentral. Bagi banyak wanita di Amerika Serikat, kemenangan Trump menandakan bahwa hak reproduksi mereka semakin terancam.

Sarah Liu, seorang dosen senior gender dan politik di Universitas Edinburgh, Inggris, mengamati bahwa partisipasi wanita di AS dalam gerakan 4B, termasuk seruan mogok seks, dipengaruhi oleh posisi dan akses mereka terhadap sumber daya.

“Fakta bahwa begitu banyak wanita AS mencari gerakan 4B di Google dan ingin melakukan strategi ini menunjukkan kepada Anda bagaimana tidak bersahabatnya lingkungan yang ditinggali wanita Amerika saat ini. Terpilihnya Trump menjadi peringatan bagi banyak wanita di AS bahwa patriarki masih hidup dan berkembang di tanah air mereka,” sebutnya.

“Oleh karena itu, penerapan strategi kreatif ini (meskipun mogok seks bukan hal baru) bisa memungkinkan wanita Amerika menjadi bagian dari gerakan global di mana para wanita (muda) secara diam-diam berhenti melakukan hubungan seks sebagai bagian dari tren ‘boysober’,” ujar Liu dalam analisisnya.

“Dengan banyaknya metode protes, gerakan 4B tampaknya merupakan salah satu strategi utama untuk menolak ekspektasi gender yang dibebankan pada perempuan, terutama karena gerakan ini berpusat pada kemampuan reproduksi perempuan dan ekspektasi gender terhadap hubungan heteroseksual. Namun, gerakan ini bisa menimbulkan reaksi balasan dan lebih banyak antagonisme terhadap feminisme dari laki-laki,” imbuhnya.

Seperti dilaporkan Newsweek, mogok seks telah terjadi di banyak negara di seluruh dunia termasuk Kolombia, Kenya, Liberia, Italia, Filipina, Sudan Selatan, dan Togo.