RAKYAT NEWS, JAKARTA – Perhatian terhadap situasi di Laut China Selatan meningkat setelah Presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan ke Beijing dan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping. Setelah pertemuan tersebut, Prabowo dan Xi Jinping membuat pernyataan bersama.

Pada poin kesembilan pernyataan bersama tersebut disebutkan bahwa Indonesia dan China telah mencapai kesepakatan terkait pengembangan bersama di daerah yang saat ini menjadi sengketa klaim.

Kedua negara telah setuju untuk membentuk Komite Pengarah Bersama dengan tujuan meningkatkan kerja sama berdasarkan asas saling menghormati, setara, saling menguntungkan, dan sesuai dengan hukum masing-masing.

Pernyataan ini menuai kritik dari sejumlah pakar karena dianggap sebagai perubahan sikap pemerintah terkait Laut China Selatan.

Guru Besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyuarakan kritiknya dengan menduga bahwa daerah yang disebut sebagai tumpang tindih adalah Laut Natuna Utara.

Wilayah ini berbatasan dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan garis putus sembilan dash line China.

“Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China atas sepuluh [dulu sembilan] garis putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan,” kata Hikmahanto.

Hingga akhir pemerintahan Jokowi, Indonesia tidak pernah mengakui klaim sembilan dash line China karena tidak diakui dalam Konvensi UNCLOS yang diikuti oleh kedua negara.

Pada 2016, Pengadilan Internasional juga telah menegaskan ketidakberlakuan klaim sembilan dash line China dalam UNCLOS.

“Namun, dengan adanya joint statement 9 November lalu, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas sepuluh garis putus. Perlu dipahami, joint development hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling bertumpang tindih,” ucap Hikmahanto.