“Kami keliling jalan kaki jual 100 rupiah per biji enggak laku, aku turunkan 50 rupiah juga tidak laku, aku kasih gratis tambah takut orang, ini produk apa kan,” ucapnya.

Singkat cerita, Amran yang tidak mengenal lelah untuk terus berusaha mengembangkan racun tikus miliknya akhirnya berhasil. Hanya dengan modal Rp500 ribu dari pinjaman bank dan tekad besarnya ia berangkat ke Jakarta.

Perjuangannya itu pun membuahkan hasil ljar biasa, dimana produk dengan nama TIRAN itu akhirnya bisa digunakan oleh 2,5 juta petani di Indonesia. Bahkan bisa diekspor ke Jepang, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan beberapa negara lain.

Berlanjut soal ketegasan Amran dalam memerangi korupsi di lingkungan Kementan. Menurut pria kelahiran 27 April 1968 itu, sebenarnya sikapnya baru ia sadari betul setelah dirinya bekerja di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Amrang mengatakan, dia bekerja di sana hampir sekitar 15 tahun lamanya, kemudian baru benar-benar menjadi pengusaha setelah resign, dan lanjut terjun ke dunia pendidikan menjadi seorang dosen.

Amran resign dari BUMN bukan tanpa alasan. Apalagi dirinya sudah berada di puncak karir kala itu karena menjabat sebagai kepala logistik.

Keputusannya tersebut didasari karena dipaksa oleh seorang pimpinan untuk melakukan mark-up namun dirinya menolak.

“Pernah suatu saat kami ditekan untuk mark up pengadaan pupuk waktu itu nilainya Rp74 miliar, seharusnya harga pupuk itu Rp34 miliar, tapi saya katakan tidak, meskipun tahu kalau waktu itu kami sudah posisi puncak jabatan BUMN,” ucapnya.

Ketika itu, Amran dengan tegas mengatakan kalau mark up harus tetap dia lakukan, maka ia memilih untuk lebih baik keluar.

“Saya katakan kalau ini dilanjutkan kami pilih keluar, (yang menekan) pimpinan internal, terus ada yang dari Jakarta. Saya katakan ini tidak boleh kita lakukan. Dan akhirnya kami tetap bertahan lelang sesuai dengan keinginan kami, kemudian kami dimutasi, saya tidak tahu apakah hubungannya dengan ini,” bebernya.

YouTube player