BITUNG – Sebanyak 734 peserta di Bitung, Sulawesi Utara antusias mengikuti Rangkaian Program Literasi Digital “Indonesia Makin Cakap Digital”, yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dan Siberkreasi bersama Dyandra Promosindo, dilaksanakan secara virtual pada 18 Oktober 2021. Kolaborasi ketiga lembaga ini dikhususkan pada penyelenggaraan Program Literasi Digital di wilayah Sulawesi. Adapun tema yang dibahas adalah “Pilah Pilih Sebelum Sebar”.

Empat orang narasumber tampil dalam seminar kali ini. Masing-masing yakni, dosen komunikasi Universitas Semarang, Retno Manuhoro; anggota Kepolisian RI, Bripda Arief Elnanda; penjelajah Nusantara, Taufiq Hippy; dan Komunitas Ngoding Bareng, Grysiana Rintani Mokodompit. Sedangkan moderator yaitu Fadel Karnen. Rangkaian Program Literasi Digital “Indonesia Makin Cakap Digital” di Sulawesi menargetkan 57.550 orang peserta.

Acara dimulai dengan sambutan berupa video dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang menyalurkan semangat literasi digital untuk kemajuan bangsa. Hadir berikutnya adalah Retno Manuhoro sebagai pemateri pertama yang menyampaikan tema “Pentingnya Memiliki Digital Skills di Masa Pandemi Covid-19”. Menurut dia, digital skills merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan dan menyelesaikan pekerjaan dengan memanfaatkan perangkat teknologi. Yakni, mulai dari pengolahan data hingga keahlian dalam hal pengamanan di internet. Untuk dapat mengasah hal tersebut, warganet dapat memulainya dengan menganalisa kemampuan atau minat, mengikuti kursus daring, serta terlibat dalam proyek digital. “Jangan ragu bertanya pada yang lebih dahulu paham ilmunya,” ujarnya.

Selanjutnya, Arief Elnanda menyampaikan paparan berjudul “Etika Berjejaring, Jarimu Harimaumu”. Ia mengatakan, dua hal yang patut diperhatikan dalam bermedia sosial, yaitu berhati-hati dalam membagikan konten dan selalu menggunakan bahasa yang sopan dan santun. Agar lebih mudah, konsep MIKIR (Menghargai, Inspirasi, Kredibel, Imbang, dan Rasional) dapat menjadi rujukan dalam bersosial di internet. “Tidak sedikit orang yang membuat tulisan bernada ujaran kebencian terpaksa berurusan dengan hukum karena menyangkut dengan UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” imbuh dia.

Pemateri ketiga, Taufiq Hippy, memaparkan materi bertema “Memahami Multikulturalisme dalam Ruang Digital”. Menurut dia, contoh multikulturalisme di ruang digital misalnya, perbedaan agama, pendapat, atau suku. Sejumlah risiko ketidakpahaman akan multikulturalisme, antara lain memicu ujaran kebencian, termakan isu hoaks, serta potensi hilangnya rasa persaudaraan dan unsur budaya. “Perilaku yang dapat membuat ricuh dalam dunia digital adalah mengadu domba atau mengatakan hal-hal yang tidak pantas,” tuturnya.

Adapun Grysiana Rintani Mokodompit, sebagai narasumber terakhir menyampaikan paparan berjudul “Dunia Maya dan Rekam Jejak Digital”. Ia mengatakan, jejak digital merupakan jejak data yang dibuat dan ditinggalkan saat menggunakan perangkat digital. Jejak digital sangat sulit dihapuskan, sehingga warganet harus bijak ketika berselancar di internet atau menggunakan media sosial. “Harus bijak dalam menaruh jejak, pikirkan lagi sebelum merugi. Jejak digital adalah hal yang krusial dan tidak bisa asal,” kata dia.

Setelah pemaparan materi, kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu oleh Fadel Karnen. Para peserta tampak antusias dan mengirimkan banyak pertanyaan. Panitia memberikan uang elektronik masing-masing senilai Rp 100.000 bagi 10 penanya terpilih.

Salah satu peserta, Dyah, bertanya tentang upaya menghindari paparan negatif sekaligus menghadirkan konten positif bagi anak di Internet. Menanggapi hal tersebut, Retno bilang, orang tua berkewajiban untuk melek digital sehingga bisa bekerja sama dengan guru dalam mengawasi anak selama pembelajaran menggunakan media digital.