“Modus yang digunakan pelaku adalah pendekatan spiritual. Ia menggunakan alasan keagamaan untuk meyakinkan anak-anak tersebut agar tidak melawan atau melapor,” jelas Arya.

Beberapa korban bahkan mengaku disumpah menggunakan kitab suci agar merahasiakan apa yang mereka alami. Hal ini menjadi salah satu faktor utama lambatnya pengungkapan kasus yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Dalam pemeriksaan, SN mengakui telah melakukan perbuatan tersebut terhadap 16 anak. Namun, berdasarkan informasi yang diterima dari Eky, jumlah korban yang diduga mencapai lebih dari 40 orang.

“Memang rentang waktunya cukup panjang. Karena itu, ada beberapa kasus yang tidak bisa kami proses karena sudah masuk kategori kedaluwarsa,” tambah Arya.

Meski demikian, pihak kepolisian terus melakukan pendalaman terhadap korban lainnya yang memungkinkan untuk memberikan kesaksian dan memiliki dasar hukum untuk diproses lebih lanjut.

SN diketahui masih aktif sebagai guru sekolah dasar dan ASN. Selain mengajar di sekolah, ia juga aktif sebagai guru ngaji di lingkungan tempat tinggalnya.

Saat ini, ia telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 82 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman penjara minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun serta denda hingga Rp5 miliar.

Polisi juga masih menunggu kehadiran Eky Priyagung untuk memberikan keterangan resmi. Kapolrestabes Makassar menyatakan bahwa Eky sebelumnya telah menyampaikan kesiapannya, namun hingga kini belum dapat hadir karena kesibukan.

“Kami tetap membuka ruang dan waktu bagi saudara Eky untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Keterangan itu penting bagi kami dalam menelusuri korban-korban lainnya,” kata Arya.

Pihak kepolisian juga membuka saluran pelaporan bagi masyarakat yang merasa pernah menjadi korban dari tindakan SN. Identitas para pelapor dipastikan akan dilindungi secara penuh.