Sri Dan Mimpi Melampaui Batas
Penulis : Rusman Madjulekka
HARI itu, seorang perempuan muda berjalan menuju mimbar kecil. Mengenakan jilbab coklat muda dan baju biru. Ia didaulat memberi kuliah umum di hadapan peserta training raya HMI cabang Ciputat, Senin 28 Juli 2025. Namanya: Sri Suparni.
Menengok latarbelakang Sri Suparni sungguh inspiratif. Rasanya tak salah panitia mengundangnya. Namanya sangat “Jawa”, tapi jejak hidupnya menembus batas geografi. SD sampai SMA di desa pedalaman Sragen, Jawa Tengah.
Lalu merantau ke Sorong Papua- sebuah daerah nun jauh di ujung timur-lalu menembus Jakarta, pusat pemerintahan dan ekonomi terbaik negeri ini.
Melalui video pendek yang dikirimkan teman, saya melihat Sri- begitu ia akrab disapa- menyampaikan materi penuh semangat, terstruktur dan efektif dalam menyampaikan poin-poin pesannya. Tanpa menggunakan teks apalagi power point. Semuanya mengalir. Bahasanya pun sederhana dan terkesan sebagai motivasi yang mudah dipahami para audiens.
“Kalau manusia ingin sekedar hidup, babi di hutan pun hidup,” ujarnya.
Ia memantik perhatian para peserta dengan mengutip kalimat dari Buya Hamka tersebut.
“Lalu, apa yang membedakan?” tanyanya melanjutkan. Wajah peserta penasaran, mereka saling tatap menerka-nerka jawaban.
Menurut Sri, yang membedakan karena manusia memiliki “akal” dan “hati” untuk mencapai tujuan hidupnya.
Dalam kesempatan itu, Sri ingin menjelaskan kepada para kader muda HMI itu bahwa akal adalah alat untuk berpikir, memahami, dan menganalisis informasi yang diterima dari indra dan pengalaman. Sedangkan hati adalah dimensi spiritualitas dalam diri manusia.
“Meskipun punya fungsi yang berbeda, namun keduanya dalam pengambilan keputusan, bekerja secara seimbang dan saling melengkapi, sehingga keputusan yang diambil menjadi lebih tepat dan bijaksana.”
Di akhir acara terlihat Bu Sri berdialog interaktif dengan peserta dan tak lupa ia membagikan buku biografinya yang berisi proses perjalanan hidupnya yang berliku dan terjal. Seorang gadis dari desa yang merantau, jadi pedagang keliling, lanjut kuliah jadi aktivis HMI, dan akhirnya menembus Jakarta.

Tinggalkan Balasan