Outcome yang kami targetkan pada Aksi Mangrove Lestari ialah bertambahnya tutupan lahan mangrove di area program yang dapat meningkatkan serapan emisi karbon dan juga sebagai penanggulangan dampak perubahan iklim pada area pesisir, khususnya mencegah kerusakan tanggul tambak dan media tumbuh kerang laut saat musim banjir,” pungkasnya.

Selain mampu mengurangi kerusakan bagi wilayah pesisir sungai hingga pantai di daerah, kata Aji, hutan mangrove ini tentunya dapat dibudidayakan untuk memperbaiki ekosistem laut yang kemudian dapat dimanfaatkan warga sekitar, mulai dari penjualan bibit, budidaya kepiting bakau dan tiram serta pendapatan kelurahan melalui pengembangan ekowisata mangrove.

“Karena kan di Desa Tekolabbua itu kebanyakan sungai-sungai yang bercabang-cabang, jadi adanya mangrove itu bisa mengurangi abrasi dan juga bisa mengembangkan ekosistem laut seperti ikan dan kepiting,” imbuhnya.

Aji kemudian berharap, jika kedepannya program ini tidak hanya dilaksanakan pada Desa Tekolabbua saja, namun juga wilayah Kabupaten dan Kota lainnya di Sulawesi Selatan serta provinsi lainnya, yang tentunya dapat meningkatkan kualitas dan kapasitas ekosistem mangrove Indonesia.

Data terakhir Mangrove dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sulawesi Selatan sendiri menyebutkan jika per tahun 2023 terdapat  21.000 hektare lebih luas hutan mangrove yang ada di Sulsel.

Luasan tersebut terbagi menjadi dua kategori, antara lain yakni mangrove primer dan sekunder. Hutan mangrove primer terdiri dari sekitar 2.500 hektare lebih, sedangkan hutan mangrove sekunder mencapai hingga 19.000 hektar.

Sedangkan menurut Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per tahun 2022, Indonesia sendiri merupakan negara yang menjadi penyumbang hutan mangrove terbesar di dunia, yakni mencapai luasan hingga 25 persen. Tersebar dari Sumatera hingga Papua, ekosistem Hutan Mangrove yang dimiliki Indonesia bahkan mencapai 3.36 juta hektare. (Frz)