RAKYAT NEWS, JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mewajibkan kapal nelayan memasang teknologi Vessel Monitoring System (VMS) atau perangkat monitoring sistem berbasis sinyal mulai tahun 2026. Kebijakan itu mendapat protes dari nelayan di sejumlah daerah dianggap menambah beban operasional karena harganya yang mahal.

Pertanyaannya kemudian, apakah penggunaan WMS menjadi solusi bagi kapal nelayan kita?

“Kami setuju aturan itu karena banyak manfaatnya, namun memaksakan penggunaannya pada nelayan, terutama nelayan tradisional atau skala kecil, tanpa pertimbangan matang, bisa menimbulkan masalah serius,” kata pengamat teknologi kelautan dan perikanan, Darwis Ismail ST,MM, saat dimintai tanggapannya, Senin (4/8/2025) di Jakarta.

Darwis mengingatkan, apabila tidak hati-hati, dihitung dengan cermat, dan pendekatan yang tepat, kebijakan yang tujuannya baik tersebut malah bisa berakibat kontraproduktif.

Pertama, biaya yang memberatkan. Dimana meliputi harga perangkat (hardware) sangat mahal bagi nelayan kecil, beban biaya bulanan/tahunan untuk layanan satelit, dan biaya perbaikan atau penggantian perangkat yang mungkin sulit dijangkau nelayan.

Yang kedua, lanjutnya, faktor kompleksitas penggunaan. Dimana tidak semua nelayan terbiasa dengan teknologi digital. Tapi perlu pelatihan yang memadai, berkelanjutan, dan mudah dipahami. Lalu, kesulitan teknis seperti sinyal lemah, perangkat error dan lain-lainnya yang bisa membuat frustasi dan mengganggu aktivitas melaut para nelayan.

Ketiga, kesenjangan infrastruktur. Dimana seringkali wilayah operasi nelayan jauh dari jangkauan sinyal seluler yang andal, apalagi untuk VMS berbasis satelit.

“Jika sinyal tidak stabil, data tidak terkirim, dan sistem menjadi tidak berguna atau bahkan menjadi beban administrasi, misalnya dianggap melanggar karena tidak melapor,” ungkapnya. Selain itu, akses ke bantuan teknis atau tempat perbaikan perangkat di daerah pesisir terpencil seringkali sangat terbatas.

Keempat, kurangnya manfaat langsung yang dirasakan. Dimana jika nelayan tidak merasakan manfaat nyata dan langsung dari VMS terhadap penghasilan atau keamanan mereka sehari-hari, maka mereka akan menganggapnya sebagai beban dan alat pengawasan belaka.

Manfaat itu seperti bukti jika terjadi sengketa wilayah, data untuk asuransi, atau akses ke pasar khusus yang mensyaratkan traceability perlu dikomunikasikan dengan jelas dan diwujudkan.

Kelima, konteks sosial ekonomi. Dimana memaksakan biaya dan kompleksitas teknologi tinggi tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi nelayan yang seringkali pas-pasan adalah tidak adil. Selain itu, kebijakan seperti ini bisa memperlebar kesenjangan antara nelayan besar (yang mampu) dan nelayan kecil/tradisional.

Subsidi dan Insentif

Mencermati potensi masalah dan ancaman tersebut, Darwis yang juga Ketua Ikatan Sarjana Kelautan (ISLA) Unhas dan Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) ini menawarkan solusi yang lebih bijak.

Pertama, pendekatan bertahap dan uji coba. Dimana dimulai dengan proyek percontohan di area tertentu dengan nelayan yang bersedia, bukan secara paksaan massal.

Kedua, adanya subsidi dan insentif. Dimana pemerintah atau lembaga terkait harus menyediakan subsidi penuh atau signifikan untuk perangkat, biaya langganan, dan pemeliharaan, terutama untuk nelayan kecil. Berikan insentif konkret, seperti akses ke zona tangkap khusus, bantuan bahan bakar, atau premi asuransi lebih baik bagi pengguna VMS.

Ketiga, pelatihan intensif dan berkelanjutan. Hal ini meliputi pelatihan praktis, berulang, dengan bahasa yang mudah dimengerti, dan sediakan saluran bantuan teknis yang responsif dan mudah diakses. Misalnya melalui kelompok nelayan atau koperasi.

Keempat, teknologi yang sesuai dan terjangkau. Kembangkan atau adopsi solusi teknologi yang lebih terjangkau, tahan banting, dan sesuai dengan kondisi riil nelayan Indonesia. Misalnya, solusi hybrid yang bisa menggunakan sinyal seluler jika tersedia dan satelit jika tidak, open source hardware/software bisa jadi alternatif.

Kelima, komunikasi manfaat yang jelas. Sosialisasi bukan hanya sebagai kewajiban, tapi “manfaat nyata” bagi nelayan, bukti lokasi jika terjadi masalah, data untuk klaim asuransi, akses pasar yang lebih baik, data untuk memahami daerah tangkapan, peningkatan keselamatan (SOS).

Keenam, melibatkan nelayan dalam perencanaan. Libatkan perwakilan nelayan sejak awal dalam merancang kebijakan dan implementasi VMS. Dengarkan keluhan dan kebutuhan mereka.

“Jadi teknologi VMS bisa menjadi alat yang sangat berharga untuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan keselamatan nelayan. Namun, implementasinya harus manusiawi, adil, dan didukung penuh,” ujar Darwis.

Menurutnya, memaksakan tanpa menyelesaikan masalah mendasar seperti biaya, kompleksitas, infrastruktur, dan manfaat langsung bagi nelayan hanya akan menciptakan beban baru dan resistensi, serta berpotensi gagal mencapai tujuannya.

“Dengan begitu diperlukan pendekatan “bottom-up” yang mendengarkan nelayan, menyediakan dukungan penuh (dana, pelatihan, teknis), dan menawarkan manfaat nyata adalah kunci keberhasilannya. Teknologi harus menjadi alat bantu, bukan beban yang meminggirkan para nelayan kita,” tegasnya. (***)