Pemukulan Warga Terkait Bendera One Piece, Kodam Hasanuddin Membantah, Polda Bungkam
MAKASSAR, RAKYAT NEWS – Seorang warga Bantaeng viral lantaran aksi dugaan pemukulan dan intimidasi terhadap seorang warga oleh seseorang yang viral dinarasikan dan mengaku “anggota” dibantah pihak TNI jika yang bersangkutan adalah anggotanya
” Dinarasi kan juga tulisan katanya polisi,” ungkap humas Kodam Hasanuddin Letkol Gatot Awan Febrianto
Lebih lanjut, Kodam Hasanuddin juga menegaskan bahwa pihaknya sama sekali tidak pernah memberi instruksi atau perintah untuk menertibkan peredaran, penjualan maupun pengibaran bendera One Piece.
” Dari Kodam tidak ada instruksi terkait penertiban bendera one piece,” tambahnya
Letkol Gatot memperingatkan bahwa narasi yang viral di dunia maya dan mengatakan pelaku pemukulan adalah anggota TNI merupakan informasi yang tidak valid
“Jangan sampai sampai ngaku-ngaku, kecuali jelas pakaian loreng dengan identitas nama dan sebagainya,” tutup Gatot
Berbeda dengan TNI, Polda Sulsel yang dihubungi terkait keabsahan pengakuan keanggotaan pelaku pemukulan tersebut belum memberi jawaban apapun sampai berita ini diturunkan.
Layanan konfirmasi yang ditujukan kepada Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Didik tidak mendapat balasan sampai berita ini diterbitkan.
Sementara itu, pekerja kemanusiaan dan hak hak sipil dari lembaga non pemerintah, Amnesty International, mengingatkan agar semua pihak menghentikan razia dan intimidasi warga pengibar bendera “One Piece”
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan
respons pemerintah dan aparat menyikapi fenomena pengibaran bendera One Piece di masyarakat jelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-80, apalagi yang disertai dengan ancaman pidana, sangatlah berlebihan.
Amnesty mencontohkan seorang pemuda berinisial AR di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur pada Sabtu pekan lalu (2/8) didatangi sejumlah aparat, di antaranya petugas Polsek, aparat Koramil, intel Kodim dan polisi pamong praja (Pol PP) setempat, setelah mengunggah foto hormat kepada bendera bajak laut yang dipasang di dekat rumahnya.
Contoh lain menurut Amnesty di Sragen, Jawa Tengah, polisi dan tentara dikabarkan mengawasi penghapusan sebuah mural karakter anime One Piece di jalanan sebuah desa pada Minggu (3/8). Seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya kepada media mengungkapkan mural itu dihapus warga atas arahan anggota TNI dan Polri yang datang ke lokasi.
Menurut Amnesty, mengibarkan bendera One Piece sebagai medium penyampaian kritik merupakan bagian dari hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh Konstitusi dan berbagai instrumen internasional lainnya yang telah diratifikasi Republik Indonesia.
Usman mengelaborasi bahwa ekspresi damai lewat pengibaran bendera bukanlah makar, apalagi upaya pecah belah bangsa. Represi melalui razia atau penyitaan bendera One Piece adalah bentuk perampasan kebebasan berekspresi yang bertujuan mengintimidasi dan menimbulkan ketakutan di masyarakat.
“Negara tidak boleh anti terhadap kritik,” jelasnya
Setali tiga uang, Renne Kawalirang, communications specialist di Amnesty International mengungkapan bahwa alih-alih merepresi kebebasan berpendapat melalui razia, pemerintah seharusnya lebih fokus menyelesaikan akar penyebab dari keresahan masyarakat sehingga memilih mengibarkan bendera One Piece.
“Pemerintah sebaiknya tidak anti-kritik dan harus berhenti memberi pernyataan yang berlebihan terhadap fenomena kebebasan berekspresi di masyarakat, apalagi disertai dengan ancaman sanksi pidana. Aparat harus melihat fenomena ini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi,” tugasnya
Renne menambahkan sebagai negara pihak berbagai instrumen HAM internasional termasuk ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), Indonesia berkewajiban melindungi serta menyediakan ruang aman bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat secara damai.
Perlindungan hak atas kebebasan berekspresi yang diatur di Pasal 19 ICCPR berlaku untuk segala jenis informasi dan gagasan, termasuk informasi dan gagasan yang dianggap mengejutkan, menyerang, atau mengganggu, terlepas dari apakah konten informasi atau gagasan tersebut benar atau salah.
“Negara seharusnya hadir untuk melindungi, bukan membiarkan — apalagi berperan dalam — pembungkaman suara-suara kritis yang sah dari warga negara.” tutup Renne. (Uki Ruknuddin)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan