JAKARTA, RAKYAT NEWS –Lalulintas di sekitar jalan Veteran Utara, kelurahan Lariang Bangngi, Makassar nampak normal, cuaca yang bersahabat tak menandakan suasana panas apapun.

Tak ada yang berbeda dari keadaan sekitar. Tiga bank plat putih papan atas, berdiri berdempetan berbagi dinding di kawasan tersebut. Tak nampak mencolok sedikitpun walau terjadi pertarungan panas yang hawanya sampai ke kawasan tersebut sebagai salah satu dari sekian banyak unit usaha atau aset milik Bank MNC yang ada di Makassar atau Sulsel pada umumnya .

Pengusaha besar dan bos media ternama, Hary Tanoesoedibjo ( Cheng Ming Li) resmi digugat dan telah bergulir dengan nilai fantastis Rp 119 triliun oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Gugatan terhadap konglo asal Surabaya itu mendapuk angka yang disebut-sebut sebagai gugatan perdata terbesar yang pernah tercatat di Tanah Air. Uang semua, bukan daun jambu

CMNP merupakan korporasi rintisan putri kandung mendiang presiden Suharto, Siti Hardiyanti Rukamana alis Mbak Tutut, Jusuf “Auw Yong” Hamka dan Salim Group (Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, Liem Hong Sien alias Anthony Salim)

Perkara bermula sekitar 12 Mei 1999. Saat itu, Cheng Ming Li alias Hary Tanoe menawarkan kepada CMNP penukaran Negotiable Certificate of Deposit (NCD) yang diterbitkan oleh Unibank senilai USD 28 juta dengan surat utang milik CMNP berupa Medium Term Notes (MTN) senilai Rp 163,5 miliar dan obligasi tahap II senilai Rp 189 miliar.

NCD adalah “buku tabungan raksasa”
yaitu, sertifikat deposito yang dapat dipindahtangankan atau dijual beserta isi-isinya sebelum jatuh tempo

MTN (Medium Term Notes) adalah “surat cicilan raksasa” yaitu instrumen utang yang diterbitkan perusahaan atau lembaga keuangan dengan jangka waktu menengah (biasanya 1–10 tahun), berfungsi atau digunakan untuk menggalang dana dari investor tanpa harus menerbitkan obligasi publik secara penuh. MTN merupakan surat utang yang dijual secara privat kepada investor tertentu. Biasanya MTN diliruk karna lebih fleksibel dibanding obligasi biasa, dapat diterbitkan dalam seri dengan tenor dan suku bunga berbeda dan nilai tambah biaya penerbitan relatif lebih rendah.

Dalam kejadian kubu CMNP dan kubu Harry Tanoe, NCD tersebut diserahkan pada 27 dan 28 Mei 1999, dengan jatuh tempo Mei 2002.

Namun oh aduhai, sungguh aduhai, malapetaka datang lebih cepat: pada 2001, Bank Indonesia menetapkan Unibank berstatus Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan menutup operasinya.

Lantaran penutupan Unibank, akibatnya, ketika waktu pencairan tiba pada Agustus 2002, dana NCD tidak bisa diakses.

Gugatan yang bergulir juga menyeret PT Bhakti Investama (kini PT MNC Asia Holding), serta dua individu lainnya yakni Tito Sulistio dan Teddy Kharsadi, berawal dari transaksi Negotiable Certificate of Deposit (NCD) pada 1999.

Menurut kubu CMNP, NCD senilai US$ 28 juta yang mereka terima dari Hary Tanoe tak bisa dicairkan setelah penerbitnya, Unibank, ditutup pemerintah pada 2001.

Kubu CMNP menuding Hary Tanoe mengetahui sejak awal bahwa surat berharga tersebut bermasalah dan melanggar aturan Bank Indonesia. Mereka menuntut Rp 103 triliun sebagai ganti rugi materiil, ditambah Rp 16 triliun untuk kerugian immateriil.

“Ini bukan sekadar gugatan, ini adalah upaya mencari keadilan atas kerugian yang sangat besar,” ujar kuasa hukum CMNP, R Primaditya Wirasandi, usai sidang perdana, Rabu 8 agustus lalu.

“Ini adalah gugatan perdata terbesar yang pernah terjadi di Indonesia,” tambah Primaditya usai sidang perdana pada 8 Agustus 2025 lalu

Mediasi Gagal, Sita Jaminan Diajukan

Sebelum berperkara di meja hijau, upaya mediasi sempat ditempuh, namun kandas karena pihak Hary Tanoe dianggap tidak memenuhi tuntutan CMNP.

Langkah hukum berikutnya adalah permohonan sita jaminan atas seluruh aset pribadi Hary Tanoe dan aset PT MNC Asia Holding. Termasuk yang ada di Sulsel atau dimana saja.

Hasil penelusuran CMNP mencatat, aset pribadi Hary Tanoe sekitar Rp 15,6 triliun, sementara aset MNC Group mencapai Rp 18,98 triliun. Nilai ini dinilai jauh dari besaran tuntutan, sehingga CMNP khawatir haknya tidak akan terpenuhi bila gugatan dikabulkan.

 

Langkah Pidana: Pemalsuan Dokumen dan TPPU

Tidak hanya jalur perdata, CMNP juga menempuh jalur pidana. Pada 5 Maret 2025, laporan resmi dilayangkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan pemalsuan dokumen dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Penyidik disebut telah memeriksa pihak-pihak terkait, termasuk perwakilan CMNP, Hary Tanoe, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Hak Jawab/ Bantahan MNC: Hanya Perantara

Kuasa hukum PT MNC Asia Holding, advokat terkenal Hotman Paris Hutapea, membantah tuduhan tersebut. Menurutnya, Bhakti Investama hanya bertindak sebagai arranger (perantara) dalam transaksi antara CMNP dan Unibank.

“Kasusnya tahun 1999, CMNP butuh dolar. Waktu itu, salah satu bank publik paling sehat ditunjuklah Bhakti Investama sebagai arranger. Disepakati Unibank akan menerbitkan euro senilai USD 28 juta,” jelas Hotman pada 11 Maret 2025 yang dikutip sejumlah media

Hotman menegaskan bahwa proses telah sesuai hukum, CMNP telah memverifikasi status NCD, dan secara pidana perkara ini sudah kedaluwarsa. Ia juga menduga ada pihak yang memiliki agenda tersembunyi di balik gugatan ini.

Keseharian MNC Group meski berhadapan kasus ini, tidak berdampak pada operasional maupun kinerja keuangan perusahaan. Namun, mengingat nilai gugatannya yang fantastis, publik menanti apakah perkara ini akan menjadi preseden hukum baru atau justru gugur di meja hakim. (Uki Ruknuddin)

YouTube player