MAKASSAR, RAKYAT NEWS- Konflik Ketenagakerjaan antara PT. Huadi Nickel Alloy dan kalangan buruh terkait Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) kembali memasuki babak baru setelah pihak Huadi menggugat 20 buruh ke Pengadilan Hubungan Industrial di Makassar.

Alih-alih takut atau berdamai, para buruh yang tergabung dalam SBIPE Bantaeng bersama LBH Makassar justru melayangkan perlawanan balik.

Mereka menuding perusahaan melakukan praktik kerja paksa, tidak bayar lembur sesuai aturan, dan bahkan menggaji di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulsel.

Perusahaan berbasis di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) itu secara resmi menggugat para buruh pada 26 Agustus 2025. Dalam dokumen gugatan, perusahaan menyatakan telah terjadi kesepakatan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara damai berdasarkan efisiensi pada Februari 2025.

Klaim pihak Huadi kemudian dibantah keras oleh para buruh dan pihak LBH Makassar

“Gugatan ini adalah itikad buruk perusahaan untuk membenarkan sistem kerja dan upah yang tidak layak yang mereka terapkan,” tegas Muhammad Ansar, perwakilan buruh, dalam siaran pers yang diterima Rakyat News

Berdasarkan telaah pada pernyataan tertulis yang disampaikan LBH Makassar, gugatan perusahaan berpokok pada beberapa hal yang justru menjadi bahan perlawanan buruh, seperti Overtime “Intensif” yang Tidak Sah. Menurut pihak buruh, perusahaan mengklaim telah membayar lembur dalam bentuk insentif 40%. Namun, para buruh membantaknya karena perhitungannya tidak sesuai UU Ketenagakerjaan.

Mereka juga mengungkapkan dugaan kenyataan pahit: sering dipaksa bekerja tanpa istirahat, bahkan harus makan di tempat kerja.

Point selanjutnya yang ditapis pihak buruh adalah Gaji di Bawah UMP. Buruh mengungkapkan bukti konkret bahwa gaji pokok yang mereka terima hanya Rp 3.500.000.

Angka tersebut dianggap jauh di bawah UMP Sulsel 2025 sebesar Rp 3.657.527,37 atau terdapat kekurangan upah sebesar Rp 157.527,37 per buruh per bulan sejak Januari lalu.