JAKARTA, RAKYAT NEWS – Pengesahan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) oleh DPR, Selasa (18/11), menuai kritik keras dari Amnesty International Indonesia. Organisasi hak asasi tersebut menilai keputusan ini sebagai ancaman serius terhadap perlindungan HAM di Indonesia. Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menyebut langkah DPR sebagai kemunduran besar dalam komitmen negara untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Wirya menegaskan bahwa revisi KUHAP seharusnya menjadi momentum pembaruan hukum acara yang lebih modern dan berkeadilan. Namun yang terjadi justru sebaliknya: proses penyusunannya berlangsung tertutup dan minim transparansi. Masyarakat sipil, yang telah berkali-kali meminta agar pembahasan tidak terburu-buru, merasa suaranya diabaikan oleh pemerintah dan DPR.

Amnesty juga mengungkap bahwa DPR baru mengunggah draf final revisi KUHAP kurang dari 24 jam sebelum waktu pengesahan. Kondisi ini dianggap menghilangkan peluang bagi publik untuk menelaah dan memberi masukan secara bermakna. Menurut Wirya, langkah tersebut mencerminkan proses legislasi yang tidak akuntabel dan jauh dari prinsip partisipasi publik yang inklusif.

Secara substansi, revisi KUHAP dinilai penuh pasal bermasalah yang memperluas ruang penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak hukum. Salah satunya adalah ketentuan yang memungkinkan seseorang ditetapkan sebagai tersangka tanpa perlindungan hukum memadai. Lebih jauh, akses terhadap bantuan hukum justru ditentukan berdasarkan besaran ancaman pidana, padahal bantuan hukum seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara dalam proses peradilan.

Amnesty juga menyoroti pemberian kewenangan penangkapan dan penahanan tanpa izin pengadilan dalam revisi tersebut. Ketentuan ini dikhawatirkan membuka peluang tindakan sewenang-wenang seperti yang terjadi pada penangkapan massal pasca-demonstrasi Agustus 2025. Wirya menilai aturan itu bertentangan dengan prinsip fair trial dan melemahkan mekanisme kontrol terhadap aparat.

Selain itu, ketentuan tentang pembelian terselubung, penyamaran, dan operasi pengiriman di bawah pengawasan penyelidik tanpa batasan jenis tindak pidana juga mendapat sorotan tajam. Menurut Amnesty, praktik tersebut rentan digunakan untuk penjebakan (entrapment) yang justru menciptakan tindak pidana baru, bukan mencegah kejahatan yang benar-benar terjadi.

Revisi KUHAP juga memungkinkan penangkapan dan penahanan di tahap penyelidikan, saat belum ada kepastian telah terjadi tindak pidana. Bagi Amnesty, hal ini menunjukkan bahwa revisi tersebut lebih menempatkan kekuasaan pada aparat ketimbang memperkuat perlindungan hak-hak warga. Tanpa mekanisme akuntabilitas yang jelas, warga akan semakin rentan terhadap tindakan sewenang-wenang.

Jika revisi ini dipaksakan berlaku pada 2 Januari 2026 tanpa masa transisi dan kesiapan infrastruktur, Amnesty memperingatkan potensi terjadinya kekacauan hukum. Karena itu, mereka mendesak DPR dan pemerintah untuk membatalkan pengesahan serta membuka kembali pembahasan RKUHAP secara komprehensif dan transparan bersama masyarakat sipil.

Sebagai latar belakang, DPR mengesahkan revisi KUHAP secara aklamasi dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani setelah mendengar laporan Ketua Komisi III, Habiburokhman. Revisi ini disebut sebagai penyesuaian dengan akan berlakunya KUHP baru pada 2 Januari 2026. Namun Amnesty menemukan bahwa draf KUHAP yang diunggah DPR dibuat sehari sebelum pengesahan. Selama prosesnya, koalisi masyarakat sipil bahkan telah mengajukan somasi ke Mahkamah Kehormatan Dewan atas dugaan manipulasi masukan publik dalam pembahasan RKUHAP.( Uki)

YouTube player