Geliat UMKM Pangan dan “Bom Waktu” di Piring Kita: Mendesak Reposisi SP-PIRT
Rakyat News, Subang – Indonesia saat ini sedang menikmati “bulan madu” kuliner. Tengok saja gawai kita; deretan aplikasi pesan-antar makanan menawarkan ribuan opsi dari dapur-dapur rumahan (UMKM) yang menggugah selera. Fenomena ini adalah kabar gembira bagi ekonomi kerakyatan. Namun, di balik kemudahan klik-dan-pesan ini, kita berdiri di persimpangan jalan yang krusial: ekspansi masif pangan rumahan digital versus risiko kesehatan yang mengintai di baliknya.
Pertanyaannya sederhana tapi menohok: seberapa yakin kita bahwa makanan yang viral di media sosial itu aman dikonsumsi?
Di sinilah kita perlu membicarakan kembali SP-PIRT (Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga) dengan kacamata baru. Sudah terlalu lama SP-PIRT dipandang sebelah mata—sekadar “kertas sakti” administratif untuk menggugurkan kewajiban izin edar. Padahal, di era di mana rantai pasok pangan makin kompleks, SP-PIRT harus diposisikan ulang sebagai instrumen vital perlindungan kesehatan publik, pilar ketahanan pangan, dan strategi mitigasi beban ekonomi kesehatan.
Bukan Sekadar Sakit Perut, Tapi Beban Ekonomi
Kita tidak bisa lagi menyepelekan penyakit bawaan pangan (foodborne diseases) sebagai sekadar “salah makan” atau masalah perut sesaat. Ini adalah masalah global dengan dampak ekonomi yang riil dan serius.
Data berbicara lantang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan secara global, hampir 1 dari 10 orang jatuh sakit setiap tahun setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Di Asia Tenggara, beban penyakit ini sangat signifikan, seringkali berdampak paling keras pada populasi rentan dan ekonomi berkembang.
Di dalam negeri, situasi pun tak kalah pelik. Berdasarkan Laporan Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2023, masih tercatat puluhan insiden Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan, dengan jumlah masyarakat yang terpapar mencapai ribuan orang dalam satu tahun kalender. Perlu diingat, data ini kemungkinan besar hanyalah puncak gunung es dari kasus-kasus sporadis di masyarakat yang tidak terlaporkan secara resmi ke fasilitas kesehatan.
Kerugian ekonomi akibat keracunan pangan—mulai dari biaya pengobatan langsung, hilangnya hari kerja produktif, hingga beban fasilitas pelayanan kesehatan—diestimasi mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah setiap tahunnya. Tanpa jaminan keamanan pangan yang kuat, upaya kita mencapai target Sustainable Development Goals (SDG), khususnya poin Tanpa Kelaparan (Zero Hunger) dan Kesehatan yang Baik (Good Health and Well-being), akan terus terganjal.
Celah Menganga di Lapangan
Secara regulasi, pemerintah sebenarnya sudah bergerak maju. Badan POM telah memperbarui pedoman penerbitan SPP-IRT yang terintegrasi dengan sistem OSS (Online Single Submission) untuk mempermudah proses perizinan. Niatnya sangat baik: digitalisasi untuk percepatan berusaha.
Namun, realitas di lapangan tak seindah di atas kertas. Ada celah (gap) yang cukup lebar antara regulasi di pusat dan implementasi di daerah. Tantangan klasik seperti kapasitas pengawasan dinas kesehatan daerah yang belum merata, keterbatasan jumlah tenaga inspektur pangan (Sanitarian/Petugas Pengawas Makanan), hingga beban biaya kepatuhan yang dirasa berat oleh pelaku usaha mikro, membuat banyak UMKM akhirnya memilih jalan pintas tanpa sertifikasi.
Masalah makin rumit di era lokapasar (marketplace). Ribuan produk pangan rumahan beredar bebas di platform digital tanpa verifikasi keamanan yang memadai. Platform digital seringkali hanya berfungsi sebagai etalase, tapi abai dalam memastikan apakah produk yang dipajang sudah bersertifikat aman. Akibatnya, konsumen seolah “membeli kucing dalam karung”—kenyang mungkin didapat, tapi keamanan belum tentu terjamin.
Ekonomi Kesehatan: Mencegah Lebih Murah dari Mengobati
Kita perlu mengubah narasi mendasar bahwa keamanan pangan adalah beban biaya (cost) bagi produsen. Sebaliknya, keamanan pangan harus dipandang sebagai investasi ekonomi kesehatan yang cerdas.
Prinsip ekonominya sederhana: mencegah penyakit jauh lebih murah daripada mengobatinya. Setiap kasus keracunan pangan yang berhasil dicegah melalui kepatuhan standar SP-PIRT berarti penghematan anggaran kesehatan negara (termasuk beban BPJS) dan menjaga produktivitas masyarakat tetap optimal karena tidak perlu absen bekerja akibat sakit. Pangan yang aman adalah fondasi absolut bagi sumber daya manusia yang unggul dan ketahanan pangan nasional.
Bagi UMKM sendiri, sertifikasi ini bukan sekadar pajangan. Ini adalah tiket untuk akses pasar yang lebih luas, masuk ke retail modern, dan membangun kepercayaan konsumen yang loyal, yang ujungnya adalah keuntungan ekonomi jangka panjang.
Solusi Konkret: Dari Stempel ke Kualitas
Lantas, bagaimana mengubah SP-PIRT dari sekadar “stempel administratif” menjadi pilar perlindungan yang efektif? Kita butuh solusi yang inovatif dan kritis, bukan sekadar himbauan normatif.
Pertama, transformasi paradigma. Jadikan SP-PIRT sebagai quality enabling certificate, sebuah sertifikat yang menjamin proses kualitas, bukan cuma izin edar. Pemerintah perlu memberikan insentif ekonomi nyata berbasis manfaat—seperti akses permodalan prioritas atau eksposur pasar khusus—bagi pelaku usaha yang terbukti patuh.
Kedua, integrasi digital dan ketertelusuran (traceability). Di era QR code, sudah saatnya setiap produk P-IRT memiliki kode unik yang jika dipindai konsumen, menampilkan informasi produk, nomor bets produksi, dan status verifikasi keamanan terkini secara real-time. Ini akan meningkatkan kepercayaan publik secara drastis.
Ketiga, tanggung jawab platform digital. Marketplace kuliner tidak boleh lepas tangan. Harus ada kewajiban regulasi yang tegas bagi platform untuk memverifikasi kepemilikan SP-PIRT sebelum produk pangan ditayangkan, serta mekanisme penindakan otomatis (take down) untuk produk yang terindikasi berisiko tinggi.
Keempat, penguatan pengawasan di akar rumput. Menyadari keterbatasan jumlah inspektur resmi di daerah, kita perlu memberdayakan “pengawas komunitas” (community sentinel). Libatkan penyuluh, kader kesehatan, hingga koperasi untuk melakukan pengawasan berbasis risiko dan edukasi di lingkungan sekitar.
SP-PIRT memiliki fondasi regulasi yang kuat, tetapi tanpa perubahan paradigma dan inovasi dalam implementasinya, kita akan kehilangan momentum emas. Menjadikan keamanan pangan sebagai pilar ekonomi kesehatan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Ini adalah investasi kita bersama untuk melindungi masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan sehat.


Tinggalkan Balasan Batalkan balasan