“Dengan situasi yang serba dipersalahkan, diperlukan strategi perlawanan sosial untuk mencegah kekerasan seksual berulang seperti kampanye edukasi publik; penciptaan ruang aman di kampus (support group, satgas, layanan konseling); digital advocacy dan bystander intervention; pelibatan laki-laki sebagai ally, bukan hanya penonton,” ujarnya.

Dosen Psikologi Universitas Paramadina menilai keberadaan UU TPKS yang menjadi fondasi hukum, dalam implementasinya belum optimal. “Ada banyak tantangan seperti victim blaming, stigma, serta kurangnya dukungan psikologis dan layanan terpadu bagi korban,” katanya.

Karena masalah kekerasan seksual adalah fenomena berbasis kekuasaan, bukan tindakan individual semata sehingga diperlukan solusi yang sistematis, berlapis, dan dilakukan oleh multi-aktor — individu, institusi, komunitas, hingga negara.

“Pendekatan ini memastikan bahwa gerakan pencegahan maupun penanganan kasus tidak hanya bersifat simbolik, tetapi menjadi strategi perubahan sosial berbasis riset, sistem, dan keberlanjutan,” pungkasnya.