Layar boleh terkoyak badai, tapi perahu mestilah sampai. Biarlah kebaikan yang dikerjakan Syahrul itu, menjadi buih-buih di lautan setelah ombak meninggalkannya pergi, menjadi sejarah baik, menjadi kenangan manis yang tersimpan apik di hati rakyatnya terlepas kesalahan-kesalahannya sebagai manusia biasa.

Satu hal yang terekam baik dalam memori pikiran saya adalah teladan Syahrul yang mencerminkan sifat karakter Bugis Makassar, yang melekat kuat pada dirinya hingga dicontohkan dalam membawa sebuah pemerintahan.

Syahrul tak suka basa-basi, yang saya analogikan seperti badik yang selalu diselipkan pada pakaian di depan perut. Diperlihatkan, langsung pada inti pembicaraan, “silangsungang” orang Luwu bilang.

Kalau marah, maka nada marahlah yang keluar. Sebaliknya, ketika Syahrul memuji, percayalah itu murni. Mukanya akan menampakkan totalitas. Dan itu akan menjadi hal yang saya rindukan, seorang atasan dan kakak yang senantiasa membimbing dengan terlebih dahulu memberi tauladan bukan pencitraan.

Waktu telah mengakhiri dan kita tak kuasa menghindari kehendak ilahi. Seorang kakak akan pergi mengarungi bahtera baru. Kalaulah “komandan” menitip kerinduannya pada jejak buih di lautan, aku pun menitip rindu pada rinai hujan yang tak bisa kubendung ketika datang.

Terima kasih Komandan untuk satu dekade yang membanggakan.

Dariku Adikmu…
Andi Mudzakkar