Makassar, Rakyat News – Hiruk pikuk pilkada serentak 2018 di Indonesia sesungguhnya masih mencerminkan proses politik yang bersifat formalistik. Artinya proses yang ada hanya semata-mata dilaksanakan sebagai bentuk pesta demokrasi yang bersifat serimonial, ketimbang mengedepankan esensi proses elektoral yang objektif dan mampu mengapresiasi pluralisme. Berdasarkan The Economist Intelligence Unit, salah satu sayap lembaga think thank media The Economist Amerika Serikat merilis tentang Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada 30 Januari 2018, bahwa Indonesia menjadi kategori negara dengan pemerintahan demokrasi yang cacat. Bagaimana tidak, Indonesia menempati peringkat ke-68, yang sebelumnya berada pada peringkat ke-48.

Merosotnya Indeks Demokrasi tersebut tidak terlepas dari kontribusi penilaian keberlangsungan demokrasi pada setiap provinsi di Indonesia. Sulawesi Selatan (Sulsel) salah satu provinsi yang turut memberi sumbangan yang besar sebagai akibat merosotnya demokrasi di Indonesia. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 14 September 2017 yang lalu, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2016 mencapai angka 70,09 dalam skala 0 sampai 100. Angka ini mengalami penurunan 2,73 poin dibandingkan dengan angka IDI tahun sebelumnya. Capaian IDI tahun 2016 berada pada kategori “sedang”. Klasifikasi tingkat demokrasi dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu “baik” (indeks > 80), “sedang” (indeks 60-80), dan “buruk” (indeks < 60). Indeks Demokrasi Sulsel mencapai angka 68,53 yang dinilai sedang tapi tergolong buruk karena berada pada peringkat 26 nasional dari 34 provinsi.

Bahkan Sulsel tidak termasuk provinsi yang dilirik sebagai wilayah yang patut menjadi contoh dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Pada peluncuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2016, hanya terdapat 10 provinsi yang dianggap berhasil mewujudkan demokrasi dalam bidang pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat dan mendapat penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri 5 Desember 2017 lalu. Provinsi yang memperoleh penghargaan dalam empat kategori. Pertama, penghargaan diberikan kepada tiga daerah dengan kategori kebebasan sipil tertinggi, yakni Sulawesi Utara, Provinsi Bali dan Provinsi Kalimantan Utara. Kemudian, satu daerah yang meraih penghargaan untuk kategori lembaga demokrasi terbaik yakni Provinsi Bengkulu. Dan dua provinsi yang memperoleh penghargaan dalam kategori indeks demokrasi di atas 10 poin, yakni Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Terdapat empat daerah yang meraih penghargaan untuk capaian indeks demokrasi tertinggi di tingkat nasional yakni, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Selatan.

Bagaimana dengan Sulsel?, Asesmen terhadap kondisi demokrasi di Sulsel nampaknya belum membanggakan. Berdasarkan hasil kajian BRORIVAI CENTER yang disampaikan oleh M. Alif Andyva sebagai Executive Board, bahwa aspek-aspek yang diukur dalam indeks seperti kebebasan sipil, hak-hak politik dan lembaga demokrasi yang terbagi dalam sejumlah variabel dan indikator yang berbasis pada peristiwa atau kejadian (evidence based) di Sulsel itu, perlu menjadi perhatian khusus karena merupakan akumulasi dan cerminan situasi dinamika demokrasi di Indonesia.

Setidaknya terdapat empat variabel penting yang dapat disoroti terkait dengan perkembangan demokrasi di Sulsel yakni menyangkut proses elektoral dan pluralisme, kebebasan berkumpul dan berserikat, peran birokrasi pemerintah daerah, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan. Isu yang menonjol adalah seputar pilkada dan pluralisme di Sulsel, dimana tergolong sebagai isu strategis yang perlu dicermati secara bersungguh-sungguh, disamping isu kebebasan sipil yang kini pengaturannya lebih pada pendekatan kekuatan/kekerasan. Selain itu, penghormatan terhadap pluralisme belum menjadi komitmen kita, hal ini terlihat ketika masih menguatnya gerakan politik yang berbasis etnisitas, primordialisme atau politik kekerabatan yang notabene menjadi penghambat dalam meningkatkan kualitas proses politik di Sulsel.

Dari pengalaman Pemilu 2014 lalu hingga menjelang pilkada serentak 2018, praktik demokrasi yang berjalan di Sulsel relatif buruk, dalam pengertian bahwa proses elektoral atau pemilihan yang pernah ada belum sepenuhnya menyentuh keutamaan substansi demokrasi. Artinya secara substantif belum terlihat pemerintahan berjalan secara efektif, termasuk kemampuan instrumen demokrasi seperti partai politik yang hingga kini belum mampu menopang secara baik dalam proses elektoral (demokratisasi internal partai politik masih lemah). Dalam konteks keberfungsian pemerintah di daerah juga dinilai belum kuat dan cenderung merosot. Misalnya saja, KPK menempatkan Sulsel pada urutan ke-7 terbanyak korupsi di Indonesia. Data ini membuktikan bahwa praktik demokrasi Sulsel masih jauh tertinggal, bahkan dinilai dalam praktiknya lebih banyak bersifat prosedural ketimbang substansial.

Begitu pula, praktik demokrasi sesungguhnya tidak berhenti pada soal elektoralisme saja, namun kebutuhan akan pentingnya membangun apresiasi terhadap pluralisme dan proses politik yang inklusif menjadi keniscayaan. Menjauhkan nuansa politik kedaerahan yang mengakar pada rezim lokal atau yang berbasis etnisitas dan atau kekerabatan perlu segera ditransformasikan secara terukur. Demikian halnya, dalam praktik demokrasi tidak sekedar hanya prosedural dalam konteks pemenuhan hak-hak sipil (civil right) saja, tetapi juga diperlukan adanya effective governance. Oleh karena itu, harapan BRORIVAI CENTER kedepan, sepatutnya Sulsel bisa lebih maju dalam berdemokrasi, dan itu dapat ditemukan bilamana kepemimpinan yang hadir kelak memiliki kompetensi yang tinggi dan bebas dari KKN. Selain itu, pemimpin yang menjadi pilihan rakyat harus mampu menginspirasi generasi selanjutnya (generasi milenial) dalam membangun kebanggaan nasional (dignity), dan kebanggaan lokal (local pride) sebagai orang Sulsel yang punya prinsip siri na’ pace sebagai simbol kehormatan daerah. (*)