“Karena itu patut dipertanyakan pendidikan yang sudah diperolehnya apalagi bergelar Doktor. Hal ini harus menjadi perhatian dan catatan bagi kita karena kini motivasi sebagian besar orang berusaha untuk meraih gelar Doktor (S3) tidak berbanding lurus dengan peningkatan moralitas, sehingga mencoreng dunia akademik,” kata Rivai.

Kondisi ini, kata dia, terjadi hanya untuk mengikuti mindset sebagian besar publik yang senang memandang simbol-simbol intelektual ketimbang subtansi intelektual. Pasalnya banyak orang lebih mau mendengar seorang Doktor berbicara karena dinilai pendidikannya cukup mumpuni, ketimbang seorang yang stratanya masih di bawah.

“Publik kita terbiasa dengan penilaian hitam-putih, atas-bawah, dan pandai-bodoh, atau menambah gizi gengsi gelar Doktor,” terangnya.

Rivai menjelaskan, yang jadi masalah saat ini adalah “gengsi” seseorang yang bergelar Doktor cukup tinggi di mata masyarakat, sehingga menjadi salah satu jalan pintas meningkatkan status sosialnya di hadapan masyarakat. Padahal tidak sejalan dengan perilaku dan moralitas yang ia miliki.

“Data yang dirilis oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi tahun 2017 menyebutkan bahwa Indonesia telah melahirkan Doktor sebanyak 31.000 orang dari total sekitar 270.000 dosen yang tersebar di 4.500 kampus negeri dan swasta. Jumlah pencapaian yang masih jauh dari standar minimal Doktor yang diharapkan yaitu sebanyak 60.000 orang,” ungkap Rivai.

“Dan sampai dengan saat ini di tingkat ASEAN, Indonesia masih kalah jauh dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, dan Thailand, belum lagi dari sisi kualitas dan sumber serta proses perolehan doktornya.” sambungnya.

Seperti yang telah diberitakan, Polisi berhasil mengungkap pelaku pembunuhan pegawai UNM bernama Sitti Zulaiha.

Dari hasil penyelidikan yang dilakukan Polda Sulsel, pembunuhan tersebut diduga dilakukan oleh salah seorang oknum dosen di UNM, Dr Wahyu Jayadi.