“Kata “dibagi” pada ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menekankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu entitas yang lebih dulu ada, diksi yang digunakan oleh UUD NRI Tahun 1945 bukan dengan kata “terdiri atas/dari”, hal ini disadari dengan maksud untuk menghindari pemahaman atau konstruksi hukum daerah- daerah (provinsi atau kabupaten/kota) lebih dulu ada daripada NKRI,” terang Fahri.

Provinsi Papua adalah salah satu daerah yang diberikan otsus untuk mengatur dan mengurus secara mandiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi. Meskipun corak otonominya adalah otsus, namun konsep dasar pemberiannya adalah tetap dalam kaidah dan pengaturan otonomi daerah (vide Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (7) Jo Pasal 18 B ayat 1 UUD NRI Tahun 1945).

Sebagaimana diketahui, Otsus kepada Provinsi Papua diberikan dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya.

Disamping itu, dalam rangka percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua, perlu dilakukan upaya untuk melanjutkan dan mengoptimalkan pengelolaan penerimaan dalam rangka pelaksanaan Otsus bagi Provinsi Papua secara akuntabel, efisien, efektif, transparan, dan tepat sasaran, serta untuk melakukan penguatan penataan daerah provinsi di wilayah Papua sesuai dengan kebutuhan, perkembangan, dan aspirasi masyarakat Papua.

Fahri Bachmid menekankan, Otsus dalam pemberian serta pelaksanaannya tetap harus berpedoman pada kerangka hukum yang dibentuk oleh Negara melalui produk hukum berbentuk Undang-undang. Hal ini bermakna bahwa otonomi yang dimiliki dan dijalankan tiap-tiap daerah berada pada koridor NKRI sehingga tidak timbul kesan adanya power terpisah antara daerah otonom dengan Negara oleh karena konsepsi otonomi tersebut adalah distribution of power, bukan pemisahan kekuasaan dalam arti separation of power.