“Bahwa lahirnya UU tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua adalah perwujudan pengaturan yang utuh dan komprehensif atas Otsus yang diberikan kepada Provinsi Papua. UU No.2/2021 memberikan defenisi yang jelas dan terukur yaitu bahwa Otsus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak dasar masyarakat Papua,” jelasnya.

Provinsi Papua diberikan Otsus secara asimetris (tidak sama dengan daerah lainnya). Konsep desentralisasi asimetris sendiri berkembang dari konsep tentang asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton pada tahun 1965 (Tillin, 2006: 46- 48).

Fahri menerangkan bahwa gagasan tentang desentralisasi asimetris mestinya tidak dipersepsi sebagai bentuk penyimpangan dari ide dasar desentralisasi negara kesatuan. Namun, justru dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal.

Pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang historis masing-masing daerah kedalam sistem kebijakan nasional.

Setiap daerah/wilayah dalam sebuah negara memiliki anatomi dan struktur politik, sosial, maupun kultural yang beragam, maka desain desentralisasi yang berbeda (atau asimetris) menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat.

“Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara federal pada masa modern sekarang ini, desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal,” tutup Fahri Bachmid dihadapan Majelis Hakim Konstitusi.