“Justru di dalam omnibus law cipta kerja upah minimum ditiadakan krn upah akan di dirundingan antara manajemen dgn serikat pekerja. Lah kalau perushaan tersebut ada serikatnya kalau gak ada gmana???,”ujar Presiden ASPEK ini.

Menurutnya, justru kalangan pekerja/buruh ingin DPR menghentikan pembahasan omnibus law karena sejak awal sudah cacat hukum, disamping itu Omnibus Law justru malah merugikan sektor UMKM karena isinya justru memberikan peluang menguntungkan pada investasi asing dan besar.

Sementara itu, Timboel Siregar mengatakan, Omnibus Law merupakan metode membuat UU dengan mengambil beberapa pasal dari berbagai UU dan disatukan dalam satu UU. Berbagai UU tersebut merupakan UU dari berbagai kementerian. Tentuya penyatuan pasal dari berbagai UU ini merupakan proses singkronisasi pasal-pasal untuk mencapai tujuan yang dikehendaki pemerintah. Dengan pencabutan pasal-pasal tersebut dari UU asal maka UU asal akan tidak lagi menjadi satu kesatuan karena sudah dicabut dan dipindahkan di UU yang baru.

“Justru di Omnisbus Law RUU Cipta Kerja, upah minimum direduksi yaitu Upah Minimiun kabupaten kota (UMK) dan upah minimum sectoral (UMSK) dihapuskan. Yang ada hanya Upah minimum propinsi (UMP). Dengan dihapuskannya UMK dan UMSP maka pekerja akan dirugikan karena nanti hanya mengacu pada UMP. Nilai UMP pasti di bawah UMK dan UMSK,” ujar Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI, red) ini.

Menurut Timboel, tentunya Serikat pekerja, NGO dan Mahasiswa yag menolak Omnibus law RUU Cipta kerja terus berkonsolidasi diri untuk menolak RUU cipta kerja tersebut karena memang mempunyai persoalan.

“Apakah sudah ada kesepakatan antara NGO, BEM dan elemen buruh untuk melakukan aksi bersama di Medsos atau mendatangi DPR menolak Omnibus Law? Seluruh pihak yang menolak RUU Cipta kerja ini terus melakukan kampanye penolakan melalui medsos, dan ini terus berlangsung hingga saat ini.