Peningkatan kemampuan teknologi dan inovasi yang didorong oleh compulsory licensing ini tentunya mendorong kemampuan perusahaan farmasi dalam negeri untuk bersaing dengan perusahaan multinasional maupun asing.

“Namun, untuk mencapai hasil tersebut, peran aktif perusahaan farmasi dalam negeri juga krusial, terutama untuk mendalami lebih jauh paten obat yang akan dimintai lisensi wajib, serta dengan membangun sistem transfer teknologi canggih yang setara dengan perusahaan farmasi dari negara maju,” ujar Chandra.

Konferensi ini juga meluncurkan laporan peer review tentang program advokasi Malaysia.

Deswin menyampaikan beberapa tantangan untuk peer review yakni, insentif bagi negara yang direview harus diberikan agar mendapat kesediaan dari ASEAN Member State (AMS) atau Negara anggota ASEAN untuk direviu.

Hal ini dapat dilakukan melalui penentuan prioritas dukungan mitra dialog atau komitmen dari negara-negara anggota ASEAN lainnya untuk mendukung mereka.

“Tantangan lainnya adalah terbatasnya jumlah dukungan konsultan dan mitra dialog untuk melaksanakan peer review serta tidak adanya standarisasi kuesioner atau metodologi yang dapat menyebabkan inkonsistensi,” katanya.

Oleh karena itu, Guidance Document bagi pelaksanaan peer review perlu diperbarui untuk menjawab tantangan tersebut.

Adapun manfaat utama yang diperoleh KPPU sebagai salah satu peer reviewer adalah KPPU dapat memperoleh pembelajaran dari otoritas persaingan yang direview.

Pengalaman ini juga dapat meningkatkan keahlian KPPU dalam melakukan peer review serta membantu KPPU dalam mengembangkan program bantuan teknis bagi AMS lainnya serta menetapkan keahlian internalnya untuk melaksanakan program tersebut.

Konferensi yang diselenggarakan sejak tahun 2011 ini merupakan wadah bagi seluruh anggota negara ASEAN dan pemangku kepentingan terkait untuk mendiskusikan masalah yang muncul dalam implementasi hukum dan kebijakan persaingan usaha ASEAN di masa kini dan masa yang akan datang.**