MAKASSAR – Dalam dunia yang semakin kompleks, pemilihan umum sering dianggap sebagai pilar utama demokrasi. Namun, ketika pilihan yang tersedia tidak mencerminkan keragaman pandangan masyarakat, apakah kita benar-benar masih berbicara tentang demokrasi? Fenomena kotak kosong dalam pilkada, di mana hanya satu pasangan calon yang maju, dengan satu-satunya alternatif adalah tidak memilih—merupakan contoh konkret dari erosi demokrasi ini. Mungkin terlihat sepele, tetapi implikasi yang ditimbulkan bisa jauh lebih dalam, memicu resonansi dengan teori anarkisme yang menolak otoritas negara sebagai penentu tunggal yang diwakili oleh Partai Politik.

Pemilihan Walikota Makassar tahun 2018 menjadi panggung bagi peristiwa yang memukau: kotak kosong berhasil memenangkan pertarungan. Suara kotak kosong—sebuah simbol tanpa wajah, tanpa janji kampanye, dan tanpa retorika—mengalahkan pasangan calon yang diusung oleh partai politik. Awal munculnya kotak kosong di Makassar terjadi setelah Mahkamah Agung mencoret pasangan Mohammad Ramdhan Danny Pomanto dan Indira Mulyasari dari bursa Pilwalkot Makassar. Putusan ini membuat pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) menjadi satu-satunya yang melanjutkan pemilihan.

Drama pun tak terhindarkan. Setelah pemungutan suara, klaim pendukung kotak kosong dan kelompok Appi-Cicu saling berbenturan. Massa yang berkonvoi di jalan protokol kota Makassar menyuarakan kemenangan kotak kosong dengan semangat. Namun, Appi dalam orasinya mengklaim memenangi Pilwalkot Makassar dengan suara lebih banyak dari kotak kosong. Kemenangan kotak kosong ini menciptakan riuh politik di Tanah Air dan diistilahkan sebagai bentuk ‘hukuman’ masyarakat kepada elite.

Meminjam istilah Malcom Gladwell. Fenomena kotak kosong ini bisa jadi adalah “tipping point” yang menunjukkan bahwa sistem politik kita sedang bergerak menuju sebuah titik krisis. Ketika pemilih dihadapkan pada pilihan antara memilih pasangan calon tunggal atau tidak memilih sama sekali, kita sebenarnya tengah memaksa masyarakat untuk tunduk pada otoritas yang tidak dapat mereka pertanyakan. Dalam hal ini, kotak kosong adalah metafora bagi kebuntuan pilihan dan kebebasan.

Sistem pemilihan semacam ini menciptakan sebuah ilusi keterlibatan, namun sebenarnya justru menumbuhkan apati politik. Hal ini menjadi sangat paradoks: di satu sisi, pemerintah mengklaim memperkuat demokrasi dengan mendorong partisipasi pemilih; di sisi lain, pilihan yang tersedia tidak benar-benar memberikan ruang bagi rakyat untuk mengekspresikan ketidaksetujuan mereka. Ini adalah situasi di mana negara berusaha mengontrol hasil pemilihan dengan membatasi opsi, sekaligus membatasi kritik yang sah.

Dari sudut pandang anarkisme, fenomena ini bisa dilihat sebagai contoh nyata dari bagaimana negara berfungsi sebagai alat kontrol, bukan sebagai perwakilan sejati kehendak rakyat. Anarkisme, yang menolak segala bentuk hierarki yang tidak sah, melihat kotak kosong sebagai simbol dari hilangnya kebebasan individu untuk memilih dan menentukan nasib sendiri. Saat pilihan dibatasi atau dihapuskan sama sekali, otoritas negara menjadi tidak terlegitimasi, karena tidak lagi mewakili kehendak bebas masyarakat.

Lebih jauh lagi, kotak kosong dapat dilihat sebagai alat yang digunakan untuk memperkuat status quo. Dengan hanya satu calon yang maju, seringkali didukung oleh jaringan kekuasaan yang luas, hasil pemilihan menjadi hampir pasti. Ini bukanlah demokrasi; ini adalah oligarki yang dikemas dengan cara yang seolah-olah demokratis. Hal ini hanya memperkuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi politik, dan dalam beberapa kasus, dapat mendorong individu untuk mencari alternatif di luar sistem yang ada.

Namun, anarkisme bukanlah sekadar teori yang mengkritik negara. Ia juga menawarkan sebuah visi tentang bagaimana masyarakat bisa diorganisasi tanpa hierarki otoriter. Dalam konteks pilkada dengan kotak kosong, gagasan anarkisme mungkin tampak lebih relevan dari sebelumnya. Tanpa pilihan yang bermakna, masyarakat mungkin mulai mempertanyakan relevansi dari pemilihan kepala daerah itu sendiri. Mereka mungkin mencari cara-cara baru untuk mengekspresikan ketidaksetujuan mereka, baik melalui aksi langsung, bentuk-bentuk baru dari organisasi sosial, atau bahkan melalui ketidaktaatan sipil.

Sangat mungkin, bahwa kita sedang melihat awal dari perubahan besar dalam cara masyarakat memandang demokrasi dan peran negara. Fenomena kotak kosong kali ini yang muncul sebagai isu besar pada ajang Pilgub Sulsel adalah gejala dari masalah yang lebih besar: sebuah sistem yang tidak lagi berfungsi sebagai cermin kehendak rakyat. Dalam banyak kasus, sistem ini bahkan menghambat kebebasan memilih, sebuah hak fundamental yang seharusnya menjadi inti dari setiap demokrasi.

Sebagai penutup, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita bersedia menerima demokrasi yang telah kehilangan substansinya? Atau, apakah kita akan mencari cara-cara baru untuk memperjuangkan kebebasan dan otonomi kita? Mungkin sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali ide-ide anarkisme, tidak sebagai ajakan untuk kekacauan, tetapi sebagai ajakan untuk sebuah masyarakat yang lebih adil dan bebas.

Dalam setiap masyarakat, perubahan selalu dimulai dari momen kecil yang mengejutkan. Mungkin, kotak kosong adalah momen tersebut bagi demokrasi kita. Sebuah peringatan bahwa jika kita tidak berhati-hati, kita bisa saja kehilangan lebih dari sekadar hak pilih; kita bisa kehilangan kebebasan itu sendiri

 

Gusti Zainal
Wakil Ketua Pimda PKN Sulawesi Selatan