“‎Rebutlah kekuasaan dengan segala cara, tapi jangan halalkan segala cara,” Kutip Bro Rivai

 

Rakyat News – Itulah pesan yang sering saya sampaikan kepada setiap tim dan relawan pemenangan pada banyak kesempatan bertatap muka.

Maksud dari prinsip itu adalah mengajak masyarakat untuk menerapkan mazhab politik yang sesuai dengan etika demokrasi, aliran politik sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Bukan aliran Niccolò Machiavelli, filsuf politik dari Italia yang beken dengan ajaran strategi politik yang menghalalkan segala cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Bila kita cermati, pagelaran pilkada langsung sejak awal dimulainya, tahun 2005 silam, hingga hari ini masih sarat dengan strategi halalkan segala cara. Money politics, black campaign, hingga aksi melelang idealisme kepada para cukong politik sudah menjadi bahan cerita sehari-hari masyarakat.

Lucunya, tak ada yang mempersoalkan apakah cara-cara itu etis atau tidak.‎ Semua orang seperti lupa bahwa proses politik yang buruk akan menghasilkan produk pemimpin-pemimpin daerah yang bermental tempe.

Pemimpin yang tidak peduli dengan kepentingan rakyat. Namun hanya sibuk memuluskan kepentingan kelompoknya serta sibuk membalas budi cukong-cukong yang membekingi melalui bagi-bagi kue proyek.

Sementara money politics sudah mengakar kuat dalam dunia perpolitikan kita. Hingga untuk mendapatkan tiket partai politik sekalipun, calon kepala daerah harus merogoh kocek hingga puluhan miliar rupiah. Karenanya banyak calon yang menggantungkan harapannya pada bandar-bandar atau cukong-cukong politik.

Selain itu berbicara praktik membeli suara masyarakat yang kerap diistilahkan dengan serangan fajar. Mirisnya, berdasarkan riset Founding Father House (FHH) 71 persen masyarakat Indonesia rela menerima uang atau barang yang diberikan dari calon kepala daerah, tim sukses atau relawan serta menggadai hak suara sebagai balasannya. Hanya 29 persen masyarakat yang tegas menolak.