Rakyat News – Perguruan Tinggi (PT) harusnya jadi tauladan moralitas, integritas dan administrasi. Karena di PT-lah merupakan sumber kader pengelola negara ini, mulai dari lapis bawah sampai pada pimpinan tertinggi negara.

 

Tapi fenomena akhir-akhir ini agaknya jadi memperihatinkan. Proses-proses pemilihan Rektor cenderung mirip seperti Pilkada, mulai dari mobilisasi dukungan di jajaran anggota senat akademik, pengaturan pejabat di kampus-kampus sesuai dengan kehendak atau untuk mengamankan kepentingan subyektif-materi dari pimpinan kampus, sampai dengan aroma tak sedap dalam memperoleh dukungan suara signifikan dari Menteri (35 persen, praktiknya lebih dari 50 persen, pada tahap akhir proses pemilihan Rektor).

 

Ada juga PT yang mengobral ijazah pada peserta didik (mulai dari S-1, apalagi program S2 dan S3 dalam sistem kelas jauh dan atau juga eksekutif – hanya diikuti oleh para pejabat dari berbagai daerah atau orang-orang yang berduit). Karena dengan cara obral ijazah itulah pihak pimpinan PT dapat memperoleh pendapatan tambahan, termasuk di dalamnya ‘harga dari mentolerir adanya mal-administrasi.

 

Fatalnya lagi, para dosen pun ikut memanfaatkan program jenjang akademik formalitas itu, dan kemudian mereka menyandang gelar doktor untuk bisa dijadikan salah satu syarat mengusulkan profesor. Luar biasa bukan ?

 

Tampaknya produk dari proses-proses formalitas seperti itulah yang hari-hari diributkan oleh sebagian rekan-rekan civitas akademika dari Unima, Manado, dilaporkan dan sedang diproses oleh Ombudsman, selain juga dari Universitas Haluoleo Kendari.

 

Ijazah Rektornya disinyalir sebagai ‘aspal’ (asli tapi palsu). Apa problem seirus jika ditelusuri proses-proses perolehan ijazahnya yang konon dari Perancis. Mantan Rektor Unima, Prof. Pilotheus Tuera, agaknya menguatkan keterangan pihak pelapor itu.