RAKYAT NEWS, SURABAYA – Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Dr Hotman Siahaan mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap keputusan pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Unair.

Keputusan pembekuan BEM FISIP Unair diambil oleh pihak dekanat setelah BEM menyampaikan kritik terhadap pelantikan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, melalui sebuah karangan bunga dengan nada sindiran.

“Tindakan Dekanat membekukan BEM [adalah] simbol dari otoritarianisme yang mulai muncul dalam pemerintahan baru republik ini,” kata Hotman, dikutip dari CNN Indonesia, Minggu (27/10).

Hotman menekankan bahwa dalam lingkungan akademik, kebebasan berpendapat sepatutnya dijunjung tinggi. Namun, pembekuan ini justru menandakan kemunduran nilai-nilai intelektual di lingkungan Unair.

“Sangat disesalkan tindakan seperti ini terjadi di kampus yang mengaku hidup dalam habitat intelektual,” lanjutnya.

Hotman menyoroti bahwa kampus seharusnya memprioritaskan tradisi intelektual melalui dialog dan diskusi ilmiah, bukan dengan cara menekan suara kritis dari mahasiswa.

“Tradisi Intelektual adalah argumen untuk menemukan kebenaran. Argumen itu wujudnya diskursus. Dalam diskursus ada klaim yaitu klaim kebenaran, ketepatan, otentisitas, dan moralitas,” jelasnya.

Namun, menurut Hotman, dekanat FISIP Unair justru telah menggunakan pendekatan berbasis kekuasaan, bukan berlandaskan pada ilmu dan intelektualitas.

“Dekanat FISIP tidak menempuh jalan seperti itu. Yang ditempuh adalah relasi kuasa. Pembekuan BEM itu adalah praktik relasi kuasa,” tegas Hotman.

Mantan dekan FISIP Unair ini juga mengkritisi bahwa praktik seperti ini mencerminkan bayangan dari era Orde Baru kembali hadir di ranah akademik.

“Kalau sekarang muncul lagi, jangan salahkan kalau para mahasiswa itu menganggap sekarang ini munculnya rezim ‘The New New Order’,” pungkasnya.