‎Dalam satu dasawarsa terakhir, istilah mahar politik mulai beken digunakan dan dipahami sebagai transaksi di bawah tangan (illicit deal) antara seorang calon pejabat dengan partai politik yang menjadi kendaraan politiknya. Biasanya transaksi ini melibat dana dalam jumlah besar.

Dibanyak ‎negara maju, hal serupa juga terjadi. Di negara adidaya Amerika Serikat, mahar politik disebut sebagai political dowry. Kasus mahar politik terpopuler di AS mencuat saat George W Bush maju pada Pilpres tahun 2000 dengan Dick Cheney sebagai cawapres. Pada tahun 2015, media massa di Korea Selatan juga menyebut koalisi Aliansi Baru (gabungan tiga partai oposisi) terbentuk berkat kedermawanan mahar politik (generous political dowry) dari pihak tertentu.

Namun, semua publik di negara manapun sepakat bila mahar politik merupakan bentuk awal dari korupsi. Mahar politik akan menghasilkan kesepakatan ‎semu antara pemberi donasi dan penerima donasi. Kesepakatannya tidak melulu terbatas pada tiket. Pada banyak kasus, masih ada beberapa hal yang harus dipenuhi sang calon sebagai tindakan balas budi jika berhasil keluar pemenang pemilu.

Jika praktik itu melibatkan korporasi atu cukong sebagai donatur sang calon. ‎Maka akan tercipta efek domino yang saling menguntungkan antara calon, parpol dan korporasi, namun sangat merugikan keuangan negara dan kedaulatan rakyat.

‎Banyak pakar hukum dan pakar politik menuding mahar politik sebagai biang dari maraknya kasus korupsi kepala daerah. Biaya politik yang tinggi akan membuat kepala daerah terpilih sibuk mengembalikan modal sepanjang masa jabatan‎nya. Gaji seorang gubernur selama lima tahun pun tidak akan pernah cukup untuk mengembalikan modal miliaran rupiah yang dihabiskan selama masa kampanye.

Hampir dipastikan tidak ada partai politik yang bebas dari politik transaksional atau politik uang. Kita boleh jujur bahwa tidak ada partai yang gratis, tapi setidaknya mahar politik juga harus masuk akal agar tidak memancing pejabat terpilih ke arah korupsi.