Sudah Berlaku 20 Tahun, Komnas Perempuan Sayangkan Implementasi UU PKDRT
RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Komnas Perempuan menyatakan bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sudah berlaku selama 20 tahun, implementasinya masih menemui tantangan. Komisioner Komnas Perempuan, Dewi Kanti Setianingsih, menyoroti bahwa tantangan tersebut tidak hanya terkait dengan aspek hukum tetapi juga dengan pandangan masyarakat terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan privat.
“Di mana hambatan itu misalnya ada keengganan atau rasa malu sebagai korban ketika kekerasan yang dialaminya itu disampaikan atau dilaporkan karena akan mengakibatkan aib bagi keluarga, seringnya seperti itu,” kata Dewi, Senin (25/11/2024), mengutip Antara.
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, terdapat total 289.111 pengaduan kasus kekerasan berbasis gender (KBG) pada tahun 2023, di mana sebanyak 284.741 kasus (98,5 persen) di antaranya terjadi di ranah personal.
Dewi menjelaskan bahwa dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan personal, Komnas Perempuan sedang melakukan evaluasi terhadap implementasi UU PKDRT. Mereka telah meminta masukan dari aparat hukum dan pendamping korban untuk mengidentifikasi hambatan yang dihadapi.
Pentingnya dukungan masyarakat terhadap korban juga ditekankan oleh Dewi guna memastikan korban mendapatkan keadilan dan pemulihan. UU PKDRT juga mendorong rehabilitasi bagi pelaku agar kekerasan tidak terulang di masa depan.
“Di dalam rumah tangga itu juga sering ada siklus yang berulang. Karena dianggap, kalau dibuka (kasusnya diungkap) itu menjadi aib keluarga. Tetapi seringnya situasi yang dirasakan oleh perempuan adalah selalu mengalah. Mengalah dulu, menutupi, sehingga akhirnya berulang,” kata Dewi.
Evaluasi 20 tahun UU PKDRT dianggap krusial untuk melindungi korban dan pendampingnya, serta infrastruktur layanan yang lebih baik diperlukan dengan dukungan anggaran pemerintah yang memperhatikan korban.
Komnas Perempuan telah bekerjasama dengan berbagai lembaga seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta menjalin kerjasama dengan pihak lain untuk memberikan layanan dan dukungan kepada korban kekerasan, meskipun mereka tidak secara langsung melakukan pendampingan.
“Artinya dengan mandat yang terbatas tidak pada pelayanan, kami berjaring-jaring dengan mitra pengada layanan untuk memastikan perlindungan dan upaya-upaya pemenuhan keadilan bagi korban hingga pemulihan korban itu bisa terwujud. Juga dengan para aparatur hukum, kami juga melakukan dialog dan penguatan-penguatan bagaimana pentingnya mereka memahami rujukan-rujukan aturan hukum yang sebetulnya sudah tersedia,” kata Dewi.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan