“Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan perlakuan diskriminatif,” ucap Arief.

Lebih lanjut, karena perkawinan merupakan bagian dari ibadah sebagai ungkapan beragama atau berkeyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka perkawinan dapat diatur oleh negara sebagai forum eksternum dan negara memiliki kekuasaan untuk menetapkan tata cara dan syarat-syaratnya.

Dengan adanya Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, negara mempercayakan perkawinan kepada ajaran agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena syarat sah perkawinan ditetapkan oleh hukum dalam setiap agama dan kepercayaan.

Atas dasar itu, MK menolak permohonan Raymond dan Teguh. “Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah tidak beralasan menurut hukum,” demikian Arief.

Dalam kasus yang sama, Raymond dan Teguh juga menguji UU KUHP yang baru namun tidak diterima oleh MK. Selain itu, mereka juga menguji UU HAM, UU Adminduk, dan UU Sistem Pendidikan Nasional yang juga ditolak oleh MK secara keseluruhan.