Oleh: Zet Tadung Allo, S.H., M.H.

(Kepala Kejaksaan Tinggi NTT/Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Unhas)

Kedudukan Kejaksaan sebagai procureur generaal berarti bahwa Jaksa Agung sebagai Penyidik, Penuntut Umum dan Eksekutor Tertinggi dalam perkara pidana. Dari perspektif asas penuntutan tunggal, negara memberikan kekuasaan penuntutan hanya kepada Jaksa Agung yang dapat mendelegasikan wewenang penuntutan yang dimilikinya.

Secara filosofis Kejaksaan memiliki kedudukan sebagai lembaga penegak hukum bukan semata-mata sebagai penegak undang-undang. Jaksa sebagai penegak hukum tentu harus mengedepankan nilai keadilan, kepastian dan menjamin kemanfaatan atas berlakunya hukum kepada masyarakat dalam menjalankan tugas dan kewenangan, serta tidak dilimitasi pada undang-undang semata. Tugas penyidik dan penuntut umum dalam perkara tindak pidana tidak hanya semata-mata menetapkan tersangka, menuntut dan membawa terdakwa ke pengadilan, melainkan yang terpenting adalah mencegah orang yang tidak bersalah dipidana dan orang bersalah bebas dari pertanggungjawaban pidana.

Sir Hartley Shawcross (Jaksa Inggris dan Wales) mengingatkan bahwa: it has never been the rule in this country I hope it never will be –that suspected criminal offences must automatically be the subject of prosecution. (Tidak pernah menjadi peraturan di negeri ini, dan saya harap tidak akan pernah terjadi, bahwa tersangka pelaku tindak pidana harus dengan sendirinya menjadi subjek penuntutan). Ungkapan Sir Hartley Shawcross mengingatkan bahwa untuk teliti dan hati-hati melihat perkara sebelum dilakukan penuntutan. Maka Dalam konteks Indonesia wewenang Jaksa untuk menolak membawa perkara yang tidak layak ke pengadilan ataupun memerintahkan penyidik melakukan penghentian penyidikan adalah bagian penting dari berjalannya sistem peradilan pidana.

Perjalanan dinamika ketatanegaraan dan arah politik hukum telah memberikan wajah baru terhadap institusi kejaksaan, mulai dari rumpun kekuasaan, kewenangan hingga dasar pengaturannya. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 11 tahun 2021 yang telah menormakan asas single prosecution system, asas Dominus Litis, asas Oportunitas, asas Independensi Penuntutan, dan asas Perlindungan Jaksa. Namun, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pemaknaan asas dominus litis dalam hukum acara pidana dilimitasi pada tahap penuntutan, hal ini pada dasarnya bertentangan dengan nilai asas dominus litis yang memberikan kewenangan pengendalian perkara oleh Jaksa mulai dari tahap penyidikan sampai penuntutan.

YouTube player