Kenapa tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) perlu diberikan? Ini mungkin pertanyaan sebagai pembuka tulisan ini. Namun, saya tidak ingin melihat dari sisi hukum (legalitas). Dari kacamata hukum atau regulasi, hal ini sudah banyak yang membahasnya. Bahkan Kemendiktisaintek sendiri mengakui bahwa regulasi untuk pemberian tukin dosen ASN di bawah kementerian ini telah ada. Hanya saja belum diimplementasikan.

Baiklah. Setidaknya ada beberapa alasan kenapa tukin dosen ini harus diberikan.

Pertama, tukin adalah hak yang harus dipenuhi. Dosen dalam UU sudah diberikan tugas macam-macam. Walaupun secara garis besarnya, tugas dosen dirangkum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, dosen juga sering dibebankan dengan tugas administrasi. Sementara itu, salah satu haknya yakni tukin, tidak kunjung diberikan. Sementara itu pula, total gaji di luar tukin cukup jauh dari kata ideal. Konsekuensinya, agar dosen bisa survive dan mencapai tahap sejahterah, maka harus mencari kegiatan-kegiatan lain di luar tugas utamanya agar mendapat tambahan penghasilan. Hal ini pula berkonsekuensi dengan performanya sebagai dosen seringkali tidak maksimal.

Lagi pula, banyak penelitian yang menjelaskan bahwa kesejahteraan pekerja (dosen) akan berbanding lurus dengan produktivitasnya. Bahkan kesejahteraan juga akan berdampak pada kesehatan mental.

Ingat, dosen adalah salah satu ujung tombak pendidikan. Dosen adalah guru yang dipercayakan oleh pemerintah dan orang tua para mahasiswa untuk mendidik anak-anak mereka. Jika hak dosennya tidak dipenuhi, maka jangan berharap banyak pada dosen jika anak-anak bangsa tidak mendapatkan pendidikan yang maksimal. Jangan juga terlalu berharap kita akan menjadi negara besar dan maju dalam pendidikan.

Yang miris adalah sering kali ada pernyataan: “dosen adalah tugas pengabdian. Banyak pahala nanti. Harus ikhlas”. Kalimat-kalimat ini sering dinormalisasi untuk tidak menyejahterakan dosen. Padahal dosen juga manusia. Dosen punya tanggung jawab untuk memberikan kesejahteraan untuk diri dan keluarganya bahkan lingkungan sekitarnya.

Kedua, dosen bukan sapi perah. Ini terkait juga dengan kesejahteraan. Bayangkan saja dengan tugas-tugas yang disebutkan di atas tadi. Cukup berat. Belum lagi pemerintah melalui kementerian terkait dan juga presiden seringkali menekankan agar perguruan tinggi di Indonesia bisa naik level menjadi kampus berskala internasional. Bagaimana mungkin tujuan-tujuan itu bisa tercapai jika dosennya tidak sejahterah? Bagaimana mungkin cita-cita pemerintah tersebut (tentunya yang kita inginkan semua) bisa diraih jika dosen-dosennya harus mencari kegiatan lain di luar tugas utamanya? Ada dosen yang mencari kerja sampingan sebagai tukang ojek, berdagang, bahkan dengan melakukan aktivitas yang mencederai etika akademik seperti joki skripsi atau artikel jurnal. Ini semua untuk menambah tambahan keuangan untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya.

Singkatnya, jika dosen selalu “dipaksa” untuk melaksanakan kewajibannya dan tugas tambahan dari pemerintah seperti membawa kampusnya menjadi kampus bereputasi internasional, sementara haknya seperti tukin yang dapat menunjang kesejahteraan dosen tidak diberikan, maka mungkin ini bisa dikatakan telah terjadi eksploitasi di dunia pendidikan. Dosen ibarat sapi perah.

Ketiga, hentikan diskriminasi. Hal yang ironis dari cara pemerintah menciptakan tata kelola pendidikan tinggi adalah dengan menciptakan diskriminasi di antara dosen-dosen ASN di antara kementerian. Bayangkan saja, dosen ASN di semua kementerian mendapat tukin kecuali dosen di kementerian pendidikan tinggi. Diskriminasi ini sudah berlangsung menahun. Pemerintah abai dengan ini dan merasa tidak masalah. Padahal ini justru akan menimbulkan kecemburuan sosial. Dan tentunya dampak negatif lain.

Keempat, investasi jangka pendek dan panjang. Memberikan kesejahteraan pada dosen adalah investasi yang sangat penting. Para dosen akan lebih fokus melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan maksimal tanpa harus mencari alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika dosen maksimal bekerja, maka harapan-harapan akan tercapainya tujuan pendidikan akan lebih mudah didapatkan.

Jika program makan bergizi gratis diadakan sebagai investasi untuk masa depan anak-anak Indonesia agar memiliki SDM yang berkualitas, kenapa pemerintah juga tidak berinvestasi di dosen-dosennya? Berinvestasi dengan menyejahterakan dosen, paling tidak dengan memberikan haknya yakni tukin.

Pada akhirnya, semua tergantung kejernihan hati dan pikir pemerintah dan elite kekuasaan lainnya untuk memutuskan ini. Sejarah mencatat bahwa negara hebat adalah negara yang berinvestasi dengan hebat di dunia pendidikan. Mau jadi negara hebat? Yah, sejahterakan dosennya. Berikan tukin dosennya.

 

 

Penulis: Marwan, Dosen Universitas Hasanuddin